Penulis : Muhamad Ilham Hanif
Gelar magister (S2) sering kali diidentikkan dengan profesi dosen. Di Indonesia, stigma ini telah menjadi narasi umum yang memengaruhi persepsi masyarakat, terutama ketika seseorang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana.
Tak jarang, individu yang memilih menempuh jenjang S2 langsung dihadapkan pada ekspektasi untuk terjun ke dunia akademik.
Namun, apakah benar lulusan S2 hanya cocok menjadi dosen? Apakah ini sekadar stereotip, atau ada faktor lain yang melatarbelakanginya?
Stigma bahwa lulusan S2 hanya cocok menjadi dosen mungkin berakar pada realitas bahwa selama ini banyak program magister di Indonesia lebih berorientasi akademik.
Kurikulum S2 sering kali difokuskan pada penelitian dan pengembangan teori, yang menjadi landasan utama dalam dunia akademik.
Hal ini membuat masyarakat mengasosiasikan gelar S2 dengan profesi dosen, mengabaikan potensi lain yang dapat diraih oleh lulusan di luar dunia kampus.
Di sisi lain, stereotip ini juga dipengaruhi oleh pola pikir masyarakat yang cenderung membatasi peran pendidikan tinggi sebagai sarana untuk mengejar gelar semata. Padahal, pendidikan magister memiliki potensi besar untuk mencetak tenaga profesional yang unggul di berbagai bidang, mulai dari industri, pemerintahan, hingga kewirausahaan.
Menurut  PDDikti, jumlah mahasiswa yang mengambil jenjang S2 adalah sebanyak 379.556 ribu, sedangkan yang mengambil jenjang S1 adalah sebanyak 8.287.504. Hal ini menjadikan banyaknya lulusan S2 untuk bisa bersaing dalam profesi dan memasuki kesempatan yang ada.
Faktanya, lulusan S2 memiliki kemampuan yang lebih luas daripada sekadar memenuhi kualifikasi sebagai dosen.
Banyak perusahaan, baik di sektor swasta maupun publik, membutuhkan tenaga ahli dengan spesialisasi tertentu yang hanya dapat diperoleh melalui pendidikan pascasarjana. Contohnya, dalam dunia industri, lulusan S2 di bidang teknik dapat menjadi konsultan ahli atau manajer proyek, sementara lulusan S2 di bidang bisnis dapat menjadi pemimpin strategis dalam perusahaan.
Selain itu, pendidikan S2 juga membuka jalan untuk karier di ranah internasional. Dengan kemampuan analisis yang mendalam dan kompetensi yang lebih tinggi, lulusan magister sering kali menjadi kandidat ideal untuk bekerja di lembaga internasional atau organisasi non-pemerintah yang membutuhkan keahlian spesifik.
Di Indonesia, stigma ini juga didorong oleh realitas bahwa profesi dosen sering kali menjadi satu-satunya jalan yang terlihat bagi lulusan S2. Hal ini diperkuat oleh kurangnya promosi program magister yang aplikatif serta minimnya kolaborasi antara universitas dan dunia industri.