Sejarah Panjang Konflik dan Kriminalisasi
Selama tiga dekade, masyarakat telah berupaya mempertahankan hak atas tanah mereka. Pada 1999, Komnas HAM meminta pemerintah menyelesaikan kasus ini, namun konflik terus berlanjut. Demonstrasi dan aksi penutupan jalan perusahaan pada 2003 berujung pada tindakan represif aparat keamanan.
Pada 2004, masyarakat sempat menuntut kembali 455 hektare lahan, tetapi PTPN kembali memungut biaya tak jelas atas pengelolaannya.
Bupati Luwu Timur membentuk tim verifikasi konflik pada 2005 dan tim pemetaan lahan pada 2008, namun tidak ada penyelesaian konkret.
Puncaknya, pada 2017 masyarakat menggugat PTPN XIV ke pengadilan. Proses persidangan mengungkap PTPN tidak memiliki HGU yang sah atas lahan tersebut.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Operasi PTPN IV di Kecamatan Angkona bukan hanya melahirkan konflik agraria, tetapi juga memperburuk ketimpangan sosial. Data Sensus Pertanian BPS 2023 menunjukkan jumlah petani gurem di Sulawesi Selatan mencapai 426.742 keluarga, naik 20,62 persen dibandingkan 2013. Konflik agraria seperti ini menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya kemiskinan di wilayah pedesaan.
Tuntutan Masyarakat
Dalam rilis resminya, PPSS dan KPA Sulawesi Selatan menyampaikan tiga tuntutan :
– Kepolisian Republik Indonesia harus menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap petani di Kecamatan Angkona.
-Pemerintah dan aparat penegak hukum diminta mengusut dugaan korupsi agraria oleh PTPN IV yang telah menjalankan aktivitas perkebunan tanpa HGU selama puluhan tahun.
– Presiden Republik Indonesia diharapkan menginstruksikan Menteri ATR/BPN, Kementerian BUMN, serta jajaran pemerintah daerah untuk segera mengembalikan tanah garapan masyarakat di Mantadulu, Tawakua, dan Taripa.
Konflik agraria ini menggambarkan peliknya persoalan pertanahan di Indonesia, khususnya di wilayah-wilayah yang terpinggirkan. Langkah nyata pemerintah dan aparat terkait menjadi harapan masyarakat untuk mewujudkan keadilan agraria yang sejati.(Hdr)