Refleksi Hari Pers Nasional 2025 : Tak Sadar, Wartawan Kerap “Harakiri”

Bagikan:

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

Catatan M.Dahlan Abubakar

HARI ini saya membaca sebuah berita dari salah satu media daring. Berita itu berisi komentar salah seorang koordinator liputan yang juga kepala biro wilayah media daring yang lainnya. Menilik nama medianya, mungkin berkantor pusat di Sulawesi, tetapi entah Sulawesi yang nama.

Inti komentarnya, dia menduga ada ketidaksesuaian antara informasi yang disampaikan dengan fakta yang ada di lapangan dari media daring yang dia komentari. Yang dipersoalkan adalah masalah inisial nama yang disebutkan di dalam berita tersebut.

“Apakah informasi yang beredar tersebut sudah melalui konfirmasi yang cukup akurat. Kami ingin memastikan bahwa sumber yang digunakan untuk berita itu valid dan keterangan yang diperoleh sesuai dengan kejadian yang sebenarnya,” kata sang koordinator liputan itu, yang beritanya saya kutip dari salah satu grup WA wartawan.

Di balik kasus berita ini, ada tiga hal yang paling mendasar yang perlu diberi catatan kaki. Pertama, adanya saling mengoreksi yang berkaitan dengan kerja-kerja jurnalistik dan ini positif. Hanya saja, koreksi tersebut dilakukan dengan menjadikan objek berita sebagai bahan pemberitaan. Kedua, sang korlip lebih memilih mengomentari hasil pemberitaan wartawan dari media lain, dibandingkan turun melakukan peliputan — yang sesuai pengetahuan jurnalistiknya – sesuai standar jurnalistik yang tepat. Ketiga, jika yang dijadikan objek pemberitaan itu benar – tidak memenuhi teknis dan etika jurnalistik – itu berarti wartawan telah melanggar dan mengabaikan aturan mainnya sendiri yang disepakati oleh organisasi pers dan Dewan Pers.

Baiklah kita ‘bedah’ satu demi satu tiga persoalan tersebut. Pertama, saling koreksi adalah satu langkah yang positif bagi menyadarkan dan mengingatkan teman se-profesi. Ini penting agar para pekerja pers tidak terjebak dalam tindakan hukum yang bernama delik pers. Sanksi atas penggugatan terhadap kesalahan pemberitaan kerap tidak memuaskan pihak penggugat atau orang yang dirugikan akibat pemberitaan pers. Pasalnya, sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran etika jurnalistik terhadap seorang wartawan yang dijatuhkan oleh pimpinan media sering tidak memuaskan pihak yang dirugikan. Bagaimana dengan media daring yang pengelolaannya menganut ‘manajemen tukang sate”? Si A yang memimpin media, meliput, menyusun, dan menayangkan berita dalam satu tangan, dan sebagainya.

Baca juga :  Lagi, Petani di Sinjai Terima Bantuan Ribuan Bibit Durian

Sanksi yang diberikan lebih bersifat hukuman moral. Kalau media itu sadar, wartawan yang melakukan kesalahan itu “dimejakan”. Artinya, dia tidak boleh meliput di lapangan atau “dibelajarkan” di ruang perpustakaan atau kerja-kerja administrasi kantor. Tetapi itu jika terjadi terhadap media cetak (semasa saya).

Bagaimana dengan wartawan media daring yang “mejanya” di tempat lain. Misalnya saja – maaf – mereka sering bekerja di warung-warung kopi, tempat para wartawan bisa saling membarter berita. Lalu bagaimana menyanksi seorang wartawan yang mengelola media dengan manajemen tukang sate itu tadi? Ini persoalan!

Kedua, langkah yang dilakukan sang korlip dengan mengomentari berita yang dibuat oleh wartawan dari media lain, memperlihatkan adanya sikap saling tidak menghargai dan hilangnya rasa solidaritas terhadap sesama pekerja pers. Sesama pekerja pers sebaiknya tidak boleh saling “melambung”, seperti kerap ada idiom yang menyebutkan “sesama bus kota tidak boleh saling melambung.

Saya berpendapat, ketika ada media lain yang tidak akurat memberitakan sesuatu, di situlah peran yang seharusnya dimainkan oleh media lain, tempat sang korlip berkarier. Dia sejatinya turun meliput sesuai standar teknis dan etika jurnalistik, sehingga pembaca akan tercerahkan dengan informasi valid yang diperolehnya. Jika ini dilakukan, media yang menampilkan informasi yang valid dan terkonfirmasi (tidak ada cacat teknis dan etika jurnalistik) akan memperoleh kepercayaan dari publik pembaca.

Sebaliknya terjadi “untrust” (ketidakpercayaan) terhadap media yang memberitakan informasi yang tidak valid itu. Ingat, media perlu mem-“branding” (memerek) dirinya menjadi yang terbaik, unggul, dan dipercaya oleh pembaca. Ketika imejnya runtuh, maka kepercayaan public pun akan rubuh.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Cap Go Meh 2025 di Makassar Meriah, YADEA Bagikan Motor Listrik untuk Tenan Beruntung

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Perayaan Cap Go Meh 2025 di Makassar berlangsung meriah dengan berbagai rangkaian acara budaya dan...

Terbuka Loker PT Mayora Indah Terbaru Februari 2025 Untuk Fresh Graduate, Simak Syarat dan Cara Melamar!

PEDOMANRAKYAT, BOGOR - Kabar gembira bagi para pencari kerja, khususnya lulusan baru (fresh graduate) yang ingin berkarier di...

Orari Lokal Jeneponto Laksanakan Rapat Kerja

PEDOMANRAKYAT, JENEPONTO - Organisasi Radio Amatir (ORARI) Lokal Jeneponto Sulawesi Selatan melaksanakan Rapat Kerja, Minggu (9/2/2025) bertempat MTS...

Pohon Tumbang, Personel Polsek Bajeng Sigap dan Tanggap Selesaikan Laporan Masyarakat

PEDOMANRAKYAT, GOWA - Menerima informasi dari masyarakat bahwa di Dusun Parebalang, Desa Mandalle, Kecamatan Bajeng Barat ada pohon...