“Setiap kali bencana terjadi, masyarakat hanya bisa pasrah dan berharap bantuan sosial. Ini adalah pola klasik yang terus berulang tanpa adanya perubahan nyata dalam sistem peringatan dini,” tegas Yusran.
Ia juga menyoroti, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan KLHS Tata Ruang sebenarnya sudah menyediakan peta potensi bencana, tetapi implementasinya masih sebatas dokumen tanpa tindakan nyata. Alih fungsi lahan yang tak terkendali juga menjadi faktor yang memperparah dampak bencana.
Dari Analisis ke Aksi Nyata
Menurut Yusran, Sulawesi Selatan memiliki banyak pakar dan ahli di berbagai bidang, tetapi sayangnya analisis mereka hanya menjadi teori tanpa realisasi.
Data penting seperti curah hujan, tinggi muka air, dan kondisi geologi harusnya dikumpulkan dan dianalisis dengan serius untuk membuat prediksi bencana yang lebih akurat.
“Faktanya, banyak pemukiman dan kompleks perumahan yang terus terendam banjir karena lemahnya pengawasan terhadap data dan prediksi bencana,” jelasnya.
Oleh karena itu, Yusran menekankan, diseminasi informasi harus dioptimalkan melalui pendekatan berbasis komunitas. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kepada masyarakat harus diperkuat, termasuk melibatkan media sebagai bagian dari upaya menyebarkan peringatan dini yang lebih efektif.
“Tanpa perbaikan sistem peringatan dini yang nyata, bencana hidrologi di Sulawesi Selatan akan terus terjadi, dan masyarakat tetap menjadi korban berulang kali,” pungkasnya.(Hdr)