“Dengan adanya revisi ini, potensi intervensi politik dalam penegakan hukum dan independensi lembaga peradilan semakin menguat,” ujar Managing Partner AB&P Law Firm tersebut.
Ia menekankan bahwa kewenangan baru ini dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai kepentingan politik tertentu sehingga potensial mengancam independensi lembaga negara karena menghindari konflik dengan DPR. Oleh karena itu, ia menyerukan agar revisi Tata Tertib DPR ini dibawa kehadapan Mahkamah Konstitusi untuk diuji materi.
Kritik terhadap revisi ini semakin luas, dengan banyak pihak mendesak agar aturan tersebut dikaji ulang atau diuji materi di Mahkamah Konstitusi. Salah satu yang paling vokal adalah Viani Octavius, Senior Partner pada AB&P Law Firm, yang menyebut langkah DPR ini sebagai ancaman bagi prinsip Trias Politica yang menjadi dasar pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
“Peraturan ini secara de jure menempatkan DPR pada posisi lebih tinggi dibandingkan lembaga yudikatif seperti MK dan MA, serta melucuti independensi lembaga negara seperti KPK, KPU, dan Bawaslu. Ini jelas bertentangan dengan konstitusi serta UU yang telah mengatur penyelenggaraan negara,” ujar Viani.
Ia juga menyoroti bahwa revisi ini berpotensi merusak aturan ketatanegaraan dan menciptakan ketidakpastian hukum, bahkan dapat mengaburkan konsep negara Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat). (*Rz)