PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR -- Menteri Kesehatan (Menks) RI periode 2014-2019, Prof.Dr.dr. Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek, Sp.M (K) yang akrab disapa Nila Anfasa Moeloek, menghadiri acara pengukuhan dan penerimaan empat Anggota Dewan Profesor Universitas Hasanuddin,Selasa (18/2/2025). Merek aitu adalah Prof.dr.Muhammad Akbar, Ph.D., Sp.N., Subsp, NIIOO (K), DFM, juga Prof.Dr. Tasrifin Tahara, M.Si.,(FISIP) Prof.Ir. Muhammad Iqbal Djawad, M.Sc.,Ph.D. (Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan), Prof.dr.Muhammad Akbar, Ph.D.,Sp.N.Subsp NIIOO(K), DFM, dan Prof. Dr. dr. Habiba Setiawati Muhidin, Sp.M.(K) yang masing-masing merupakan profesor ke-558, 559,560, dan 561 yang dimiliki Unhas hingga saat ini.
Prof.dr.Muhammad Akbar, Ph.D., Sp.N., Subsp, NIIOO (K), DFM dalam orasinya mengatakanb, ‘drug discovery’ (penemuan obat) tidak akan pernah berhenti selagi ‘demand’ (permintaan) untuk menutup ‘therapeutic gap’ (celah terapi) masih ada. Oleh karena itu, salah satu tantangan utama dalam pengembangan obat adalah menggabungkan pendekatan biomedik , bioinformatik, dan neurologi klinis untuk pengembangan senyawa obat maupun untuk ‘modelling’ penelitian.
“Untuk mengawal penerapan neuro-farmakologi yang optimal, maka tidak cukup hanya dari optimalisiasi pengembangan obat dan terapi saja. Namun perlu juga tinjauan menyeluruh terhadap populasi, bukan hanya dari aspek lingkungan, melainkan juga “moleculer profiling” seperti karakterisasi ‘genotype’ yang ‘high risk’ (risiko tinggi) terhadap respon terapi sub-optimal,” kata Prof.dr. Muhammad Akbar, Ph.D., Sp.N., Subsp NIIOO (L), DFM saat menyampaikan orasi pada Pengukuhan dan Penerimaan sebagai Anggota Dewan Profesor Unhas dalam Bidang Neurologi Fakultas Kedokteran Unhas, di Ruang Senat Unhas Kampus Tamalanrea, Selasa (18/2/2025).
Pengukuhan dan Penerimaan Anggota Dewan Profesor tersebut berlangsung dalam Rapat Paripurna Senat Akademik Unhas yang dipimpin ketuanya, Prof.Dr. drg.Bahruddin Thalib, M.Kes., Sp.Pros (K) dan dihadiri oleh para rektor Unhas pada masanya, Prof.Dr.Basri Hasanuddin, M.A. (1985-1989 & 1989-1993), Prof.Dr.dr. Idrus A Paturusi, Sp.B, SBO (2006-2010 & 2010-2014), Prof.Dr.Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A. (2014-2018 & 2018-2022), Rektor Unhas Prof.Dr. Ir.Jamaluddin Jompa, M.Sc., Ketua Dewan Profesor Prof.Dr.Andi Pangeran Moenta, S.H. DFM, Anggota Majelis Wali Amanat (MWA) Unhas, mantan Dirjen di Kementerian Kelautan dan Perikanan Dr.Sudirman Saad, Dr.Syafri Burhanuddin, Sekjen Pengurus Pusat IKA Unhas Prof.Dr.Ir. Yusran, Anggota DPD RI asal Sulawesi Tenggara Dr.H.M.Z. Amirul Tamin, M.Si., Ketua DPRD Baubau Ardin Jufri ST, para Wakil Rektor Unhas, Dekan-Dekan Fakultas se-Unhas dan sejumlah mantan pejabat di Unhas, para dosen dan mahasiswa.
Prof. Muhammad Akbar, dalam orasinya bertajuk “Tantangan dan Peluang Pengobatan Masa depan di Bidang Neurologi” mengatakan, aspek krusial pertama dalam neuro-farmakologi adalah tentang pengembangan terapi.
“Dalam penemuan obat (drug discovery) penting untuk terlebih dahulu memahami patomekanisme penyakit. Secara historis kita bisa melihat pentingnya kolaborasi antara neurolog dengan farmakolog untuk mengembangkan model yang sesuai dalam mengevaluasi potensi transisi suatu senyawa untuk terapi klinis,” ujar ayah tiga anak (semua dokter) kelahiran Parepare 21 September 1962 tersebut.
Muhammad Akbar yang menyelesaikan Pendidikan dokter (1987) dan Sp.1 (Spesialis Neurologi, 1995) di Unhas, dan S-3 di School of Medicine, Hiroshima University, Japan (2001) itu mengatakan, kemajuan dalam bidang biologi molekuler, imunologi, dan ‘imaging’ telah membantu meningkatkan pemahaman terkait patomekanisme.
Kata suami Cita Marlika Parawansa, S.H., Sp.N., Dipl.CACS tersebut, pengembangan obat tidak semudah mengisolasi dan karakterisasi ‘compound’ (campuran bahan kimia untuk mengobati penyakit), tetapi juga melakukan ‘modelling’ dari ‘testing system’ yang akan digunakan. Muhammad Akbar memberi contoh, dalam bidang epilepsi, kita cenderung melakukan ‘knock out genetie’ (suatu teknik genetik yang digunakan untuk menonaktifkan atau menghilangkan fungsi suatu gen tertentu dalam suatu organisme) atau proses ‘kindling’ dan studi elektrofisiologi untuk ‘modelling epileptogenesis’ bangkitan kejang, dan sindrom epilepsi genetik.
Tantangan berikutnya setelah penemuan dan pengembangan obat adalah implementasi dn penerapan terapi yang optimal. Secara tradisional, kata Muhammad Akbar, kita ketahui bahwa terapi dalam bidang ilmu kedokteran cenderung mengarakterisasi penyakit berdasarkan gejala dan tanda-tanda yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
“Saat ini para pasien dengan gejala klinis yang serupa ternyata dapat memberikan respon yang sangat berbeda walaupun memperoleh terapi yang sama,” kata Muhammad Akbar mengutip Giancomni and Meyer.
Muhammad Akbar mencontohkan, pasien Parkinson dengan terapi levodopa (obat yang digunakan untuk mengobati penyakit Parkinson) yang bertujuan mengendalikan gejala tremor pada pasien. Secara umum terapi berjalan lancar dan respon cukup baik terhadap terapi levodopa pada beberapa tahun pertama terapi. Namun, seiring dengan waktu, ada kemungkinan pasien mengalami komplikasi motorik atau pun nonmotorik akibat terapi levodopa itu sendiri.
Muhammad Akbar menyebutkan, kunci untuk menjawab tantangan pengbatan neurologi di masa depan adalah sumber daya, baik sumber daya manusia maupun fasilitas penelitian dan manajemen ‘big data’. Saat ini sudah dapat dilihat langkah awal untuk implementasi di Indonesia. Misalnya upaya pendirian organisasi seperti Perhimpunan Genetika Manusia Indonesia (PGMI)/ ’Indonesian Society of Human Genetics (INASHG) dan semakin berkembangnya “profiling” etnik untuk mencari genotipe “high risk” terhadap reaksi obat tidak optimal di beberapa institusi riset dan pendidikan tinggi di Indonesia.
“Saat ini, Departemen Neurokogi FK Unhas memiliki peluang menjawab tantangan pengobatan neurologi masa depan dengan potensi berupa pengembangan; ‘Makassar Parkinson’s Registry (MARK-G); pembentukan ‘Thematic Research Gropu Neurogenetic Departemen Neurologi berkolaborasi dengan ‘Brains Research Institute Niigata (BRIN) sebagai upaya ‘genetic profiling’ terhadap pasien-pasien yang menderita neurodegeneratif melalui teknologi ‘Whole Exome’ dan ‘Whole Genome Sequerencing’; dan kerja sama bidang stroke dengan ‘National Cerebro-Vasculer Centre (NCVC) Osaka, Jepang,” kunci Kepala Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK Unhas (2002-2006 & 2010-2019) itu mengakhiri orasinya. (MDA).