“Padahal pejabat bupati pada masa ittu merupakan hasil kesepakatan tiga jalur, ABRI, birokrat, dan Golkar,” ujar pria kelahiran 22 Januari 1934 ini dalam terstimoninya di buku (hlm 374).
Prof. Sadly AD mendampingi Amiruddin selama delapan tahun. Ada satu ungkapan Amiruddin yang selalu diingat Sadly.
“Saya ini orang Kimia yang tidak bisa dikocok-kocok tetapi ingin mengocok-ngocok Unhas,” kata Amiruddin saat baru dua bulan memimpin Unhas ketika duduk di ruang tamu Sadly.
Berdasarkan apa yang dikatakannya itu, ada beberapa kebijakannya yang betul-betul menjadi sesuatu yang baru. Kita mengetahui, Unhas sebelum Amiruddin memimpin Unhas menganut sistem desentralisasi. Setiap fakultas memiliki kewenangan masing-masing dan menonjolkan ego fakultasnya. Amiruddin mengubah sikap ego fakultas itu menjadi semangat ke-Unhas-an. Sehingga, FISIP Unhas yang berada di luar Kampus Baraya, tepatnya di Jl. Dr.Ratulangi, “ditarik” masuk ke Kampus Baraya.
Yang kedua, kata Sadly, para dosen Unhas merasa bangga dengan hanya gelar Drs., master, atau dokter saja, namun Amiruddin mengubah paradigma itu. Amiruddin mengangkat Dr.Basri Hasanuddin, M.A. yang baru kembali dari Filipina menyelesaikan pendidikan doktor, menjabat Ketua Bidang Pengembangan Staf Akademik, yang tugasnya antara lain melaksanakan program peningkatan kualitas pendidikan staf dosen.
Amiruddin merupakan pemimpin pertama di Indonesia yang awal memikirkan kesejahteraan karyawan yang dipimpinnya dengan membangun perumahan. Tidak hanya itu, sebut Sadly, yang paling fenomenal adalah pembangunan kampus baru Tamalanrea. Kisah bermula, saat Makassar diguyur hujan berhari-hari, kampus Baraya pun tergenang air. Amiruddin meminjam mobil yang biasa dikendarai Sadly, karena sedan Kongswood DD 13 warna merah tidak mungkin melabrak genangan air di kawasan Fakultas Pertanian.
Saat melintas di genangan air tersebut, mobil yang dikemudikan sendiri oleh Amiruddin dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sjarig Thajeb duduk di sebelah kirinya, masuk lubang dan mogok. Pada saat Amiruddin berusaha menghidupkan mesin mobil, Sjarif Thajeb mencegahnya.
“Tunggu, pindah…pindah!!!,” titah Sjarif Thajeb setelah melepaskan pandangan ke seliling gedung kampus yang tergenang air.
Mendengar ucapan Sjarif Thajeb tersebut, Amiruddin langsung menangkap dalam kesempatan pertama, akan memindahkan kampus dari Baraya ke suatu tempat yang baru, yang kemudian dipilih Tamalanrea. Sjarif Thajeb pun meletakkan batu pertama pembangunan kampus baru 15 Juni 1976 dan ditesmikan oleh Presiden Soeharto 17 September 1981, setahun sebelum “sang Nakhoda dari Timur” menuntaskan masa jabatannya di Unhas.
Kader Amiruddin
Prof.Basri Hasanuddin, M.A. mengaku sangat dekat dengan Amiruddin karena menjadi bawahannya selama menjabat Rektor Unhas.
“Basri, saya minta kamu membantu saya memikirkan Unhas. Saya kasih kesempatan kamu memikirkan sumber daya Unhas. Saya tidak punya waktu memikirkan ini, kamu yang memikirkan dan laksanakan, ” pinta Amiruddin saat melihat Basri Hasanuddin baru kembali dari Filipina, sebagaimana diungkapkan Basri pada peluncuran buku tersebut.
Setelah menyampaikan permintaannya itu, Amiruddin memerintahkan bawahannya menerbitkan surat keputusan pengangkatan doktor lulusan universitas di Filipina ini sebagai Ketua Tim Pengembangan Staf Akademik Unhas. Setelah menerima surat keputusan tersebut, Basri kaget. Pasalnya, Unhas yang memiliki nama besar pada waktu itu baru memiliki 11 dosen berkualifikasi doktor dan sejumlah master. Setelah itu, Unhas mengirim tenaga dosen untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang master dan doktor ke berbagai negara di Amerika, Eropa, dan Australia di samping negara Asia, khususnya Jepang.
“Mereka yang kemudian memimpin Unhas adalah buah dari program yang dicanangkan oleh Amiruddin karena apa yang dikerjakannya adalah apa yang dikatakannya,” kata Basri Hasanuddin, sambil menambahkan, Amiruddin merupakan orang yang “saya kagumi, hormati dan membanggakan.
Ketua Dewan Mahasiswa Unhas tahun 1974-1975, Prof.dr.Andi Husni Tanra, Ph.D.,Sp.An, mengenang, ketika Amiruddin datang ke Unhas pada tahun 1973, dia sudah menjabat Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran Unhas. Sebelumnya menjadi dosen di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) Kuala Lumpur. Bersamaan dengan kedatangannya, terjadi kesalahpahaman antara Dekan FK Unhas dengan para mahasiswa karena mahasiswa dikeluarkan.
Ketika itu mahasiswa FK Unhas jika tinggal dua tahun pada satu tingkat harus dikeluarkan sebagai mahasiswa. Menyikapi situasi ini, Amiruddin mengundang mahasiswa FK ke rumah jabatan dengan kedok makan malam bersama.
“Mana si Husni,” tanya Pak Amiruddin begitu bertemu dengan rombongan mahasiswa FK Unhas.
“Saya, Pak,” jawab Husni Tanra.
“Ini si Husni, harus dikasih kawan dengan orang Solo,” kata Amiruddin yang memaksudkannya supaya dia tidak selalu memberontak.
Sejak saat itu, Husni memperoleh kesan tentang Amiruddin dalam menyelesaikan suatu persoalan. Saat Husni menjadi Ketua Dewan Mahasiswa Unhas (1974-1975), Amiruddin ingin memindahkan kampus. Pada saat itu para mahasiswa naik sepeda ke kampus. Husni sendiri tinggal di Jl. G.Merapi. Kalau tidak naik sepeda, berjalan kaki ke kampus. Husni berpikir, bagaimana caranya memindahkan kampus dengan kondisi mahasiswa yang banyak jalan kaki dan naik sepeda?
“Kita juga tidak pernah membayangkan suatu saat ada bus dan kendaraan umum yang melayani ke kampus baru. Tidak masuk di akal waktu itu untuk memindah kampus ini,” ujar Husni Tanra yang pernah memperoleh penghargaan dari Pemerintah Jepang tersebut.
Husni Tanra merupakan orang Unhas pertama dan mungkin juga Indonesia yang dikirim belajar ke Jepang. Dia memperoleh beasiswa pada masa kepemimpinan Amiruddin. Ketika berkunjung ke Jepang, seingat Husni, Amiruddin selalu ingin ditunjukkan toko buku dan diminta antar ke tempat tersebut.
Pada acara peluncuran tersebut Direktur De Hills Institute Hendra Sinadya menyerahkan penghargaan kepada perwakilan penulis buku yakni M.Dahlan Abubakar yang Bersama dengan Rudy Harahap (alm.), SM Noor, Baso Amir, dan Ridwan Effendy (alm,) menggarap edisi pertama buku “A.Amiruddin Nakhoda dari Timur” yang diluncurkan di Hotel Grand Melia Jakarta tahun 1999 oleh suatu tim yang terdiri atas Lexy M.Budiman, Andi Taufik, dan Makhfud Sappe dkk. Edisi pertama diterbitkan oleh Yayasan Latimojong, sementara edisi revisi dengan tambahan dua bab (I dan V) diterbitkan oleh UPT Unhas Press Makassar.
“Soft launching” buku ini telah dilakukan bertepatan dengan Dies Natalis Unhas ke-68 tahun 2024 di Baruga Andi Pangerang Petta Rani Kampus Tamalanrea. Namun Lexy M.Budiman selaku penerima amanah penerbitan edisi revisi buku ini bersama penulis M.Dahlan Abubakar dan Andi M.Taufik, dan Makhfud Sappe menginisiasi peluncuran yang dirangkaikan dengan acara buka puasa Bersama di Unhas Hotel & Convention.
Banyak yang menyayangkan, unsur pimpinan Unhas tidak tampak dalam acara peluncuran buku ini. Wakil Rektor III Prof.Dr. Andi Farida Patittingi, S.H., M.Hum sempat muncul di lokasi kegiatan, namun meninggalkan Hotel Unhas sebelum acara dimulai. (MDA).