PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR — Kisahnya Lima tahun silam. Tahun 2020, tepatnya. . Sarjan, asal Parado Kabupaten Bima yang saat itu berkuliah di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan jurusan pilihan Perpustakaan. Kebetulan mahasiswa UIN Jakarta Angkatan 2016 ini ‘rindu kampung’, hingga harus pulang ke Bima. Repotnya, saat itu sedang terjadi pandemi Covid-19 yang membatasi orang melakukan perjalanan.
Jika pun bepergian harus memenuhi syarat sehat dan divaksin. Anak kedua dari lima bersaudara pasangan Abd.Rahman Quraisy-St.Aminah ini selama 17 hari berjalan kaki dari Jakarta hingga Lombok. Perjalanan yang bermula 26 April itu berakhir 15 Mei 2020 di Bima.
Tes Pertama oleh Preman
Sekitar pukul 13.00 WIB tanggal 26 April 2020, Sarjan meninggalkan tempat kosnya di Ciputat Tangerang Selatan. Barang bawaannya, sebuah ransel berisi sejumlah lembar pakaian dan sebuah laptop yang diselipkan di antara pakaiannya. Lantaran isi ranselnya terasa berat, saat tiba di Bekasi sebagian pakaian yang dibawanya dia berikan kepada pemulung. Ransel merek Consina yang dibawanya diperkirakan memiliki berat 12 kg. Ada juga sebuah tas Lombok. Selain sebuah ransel dengan isinya, Sarjan juga membekali diri dengan uang Rp 380.000.
Sarjan memutuskan mengambil aksi nekat ini karena kuliah lagi libur. Teman-temannya pun rata-rata sudah kembali ke kampungnya masing-masing. Tempat kos kosong. Tidak ada teman yang bisa diajak berbincang. Ya, akhirnya dia memutuskan pulang ke Bima dengan berjalan kaki.
Sarjan meninggalkan Ciputat Tangerang Selatan pukul 13.00 tanggal 26 April 2020 seorang diri. Dia memutuskan pulang meski harus berjalan kaki setelah bosan mengurung diri selama 2 bulan di tempat kosnya akibat penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta yang kini sudah memasuki tahap kedua.
“Dari pada tinggal sendiri di kos, tidak ada teman, juga lagi ‘pengen’ mau jalan sekaligus ‘refleksi’ otak, saya putuskan pulang meski harus jalan kaki,” kata Sarjan.
Dia masih menikmati makan sahur pertama di Jakarta. Dari Ciputat dia menyusuri Lebak Bulus (Jakarta Selatan), Jl.Simatupang, terus Cilandak, Pasar Minggu, Condet, Kali Malang, Bekasi hingga Tambun. Pada saat masih di Jakarta, Sarjan pernah mendapat cobaan. Dua preman hendak membegalnya. Mungkin melihat anak berusia 21 tahun (2020) ini membawa tas, dikira isinya barang-barang mewah dan berharga.
“Ketika itu saya masih di Cilandak. Hari masih siang malah,” kata Sarjan dalam wawancara melalui telepon dengan saya setibanya di Lombok 15 Mei 2020.
Dua preman iru menggeledah bawaan Sarjan. Termasuk dompetnya. Pria berbadan kekar itu melihat kartu tanda penduduk (KTP) Sarjana yang tertulis “Bima”. Mereka sempat bertanya, ma uke mana?
“Mau pulang ke Bima berjalan kaki,” jawab Sarjan yang barangkali setelah mendengar jawaban itu, kedua pembegal tersebut tak begitu serius dan bersemangat membongkar bawaan mahasiswa asal Parado Bima ini.
Dompet Sarjan pun digeledah. Kedua pria itu hanya menemukan uang Rp 70.000 yang kebetulan tidak masuk di dompet.
Pada saat keduanya menggeledah ransel, Sarjan sempat khawatir.Takut laptop yang tersembunyi di antara pakaiannya “kepergok”.
“Syukur keduanya tidak sempat membuka lapisan pakaian yang menyembunyikan laptop saya,” ungkap Sarjan.
Kedua pembegal itu juga sempat melirik gawai (HP) yang dimiliki Sarjan. Namun mereka tidak tertarik karena gawai itu sudah tampak retak-retak. Tampak kumal.
“Mungkin mereka juga rasa kasihan lihat HP saya yang ‘kumuh’ seperti itu,” kenang Sarjan.