“Dampak yang terjadi antara lain partikel debu yang masuk ke pemukiman warga serta lintasan air permukaan yang membawa material dari aktivitas tambang yang menutupi sebagian lahan pertanian dan saluran irigasi. Pihak perusahaan harusnya melakukan mitigasi atau upaya lainnya agar tidak mengganggu aktivitas warga sekitar,” kata la Ode.
La Ode mengatakan, dalam dokumen lingkungan pertambangan, ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan oleh pengusaha tambang. Salah satunya adalah pengelolaan air limbah dan pengendalian pencemaran udaranya, termasuk debu yang beterbangan.
“Itu harus dilakukan uji sebagai bagian dari ketaatan pengusaha untuk memastikan bahwa dampak yang ditimbulkan itu tidak melewati ambang batas dan meresahkan warga sekitar tambang,” jelasnya.
Sementara Ilham dari Dinas Bima Cipta mengatakan, ijin usaha pertambangan itu merupakan kewenangan Dinas ESDM provinsi. Namun, salah satu persyaratan ijin pertambangan itu harus sesuai dengan penataan ruang atau acuan tata ruang pemerintah kabupaten/kota.
“Jadi, sesuai RDTR Pinrang, lokasi kegiatan pertambangan CV Ponro Kanni ini berada dalam kawasan Zona Taman Kota atau RTH (Ruang Terbuka Hijau). Walaupun sebenarnya, kawasan zona taman kota tidak boleh ada aktivitas pertambangan, namun dalam RTRW provinsi itu dibolehkan. Disinilah letak dilemanya kita pemerintah kabupaten/kota. Apalagi, dalam UU tambang disebutkan bahwa pemilik IUP tidak boleh diganggu. Nah, kita di pemerintah kabupaten/kota jadi serba salah,” kata Ilham.
Menyikapi hal itu, H Arsyad selaku Direktur CV Ponro Kanni mengaku akan menindaklanjuti arahan dan masukan yang disampaikan ke pihaknya. Arsyad bahkan mengaku pihaknya siap dipertemukan dengan warga yang mengadukan aktivitas tambangnya yang dinilai mengganggu kegiatan kesehariannya di sekitar lokasi pengelolaan tambang miliknya untuk mendapatkan solusi terbaik atas permasalahan tersebut. (busrah)