PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Aktivitas tambang galian C di Kecamatan Tikala menuai sorotan tajam dari kalangan akademisi.
Pasalnya, wilayah tersebut ternyata tidak termasuk dalam kawasan peruntukan pertambangan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Toraja Utara Nomor 3 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2012–2032.
Rektor Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKI Paulus) Makassar, Prof. Agus Salim menegaskan, izin pertambangan di Tikala patut dipertanyakan.
Ia menduga telah terjadi pelanggaran prosedural dan penyalahgunaan wewenang dalam proses pemberian rekomendasi hingga izin tambang.
“Perda RTRW jelas tak menyebut Tikala sebagai zona tambang. Tapi aktivitas tambang di sana berjalan dengan izin resmi. Ini janggal dan harus diusut,” ujarnya via seluler, Kamis (22/04/2025).
Perda RTRW tersebut hanya mencantumkan sejumlah kecamatan sebagai kawasan peruntukan tambang, seperti Sa’dan, Balusu, Tondon, Rantepao, dan beberapa lainnya. Nama Tikala sama sekali tak tercantum.
Prof. Agus menilai kuat dugaan adanya kongkalikong antara pihak perusahaan dan oknum pemberi izin. Ia mendorong Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan untuk menyelidiki dugaan suap dalam proses perizinan ini.
Senada dengan itu, akademisi hukum UKI Paulus, Jermias Rarsina, menjelaskan, kesesuaian tata ruang adalah salah satu syarat mendasar dalam perizinan tambang, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 dan revisinya, UU Nomor 2 Tahun 2025.
“Jika Tikala tidak pernah dialihkan statusnya dari kawasan wisata menjadi tambang, maka izin yang keluar bisa dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hukum,” kata Jermias.
Ia mengungkap, berdasarkan SK Bupati Toraja Utara Nomor 393/XI/2012, wilayah Tikala bahkan ditetapkan sebagai kawasan wisata, yang mencakup situs Arca Batu dan rumah adat Tongkonan Marimbunna.
Kegiatan penambangan di area ini, menurutnya, jelas menabrak aturan tata ruang dan berpotensi merusak situs budaya dan lingkungan.
Laporan warga pun menunjukkan dampak lingkungan mulai dirasakan. Air bersih dan lahan pertanian mereka tercemar oleh aktivitas tambang. Hal ini membuka peluang penyelidikan lebih lanjut oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
“Proses pemberian izin tambang ini harus ditelusuri secara hukum. Ada potensi kerugian negara, kerusakan lingkungan, dan penghilangan situs budaya,” tegas Jermias.
Sorotan terhadap tambang Tikala bukan hanya soal administratif, tapi menyangkut legalitas, etika, dan keberlanjutan lingkungan serta warisan budaya. Semua pihak kini menanti langkah tegas dari aparat penegak hukum, Prof. Agus Salim, menandaskan. (Hdr)