Oleh: Rusdin Tompo
(Koordinator Perkumpoukan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)
Kampung, atau dalam pelafalan lidah kebanyakan warga lokal disebut kampong, merupakan kelompok rumah yang merupakan bagian dari kota, dengan penghuni terdiri dari orang-orang berpenghasilan rendah.
Kampung juga diartikan sebagai terbelakang, dan kolot. Kampung merupakan kesatuan administratif terkecil yang menempati wilayah tertentu, terletak di bawah kecamatan.
Kampung, dalam pengertian ini, bisa berupa desa atau dusun. Demikian beberapa pengertian yang saya rangkum dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perihal pengertian kampung.
Sejenis kampung ini, ada beragam, tergantung konteks dan letak geografisnya. Selain dapat berwujud dusun atau desa, kampung juga bisa berupa nagari, seperti di Sumatra Barat, atau negri di Maluku, bisa pula berupa banjar, seperti di Bali.
Dalam bahasa Inggris, kampung/desa disebut village, sedangkan dalam bahasa Spanyol, disebut pueblo.
Apa pun sebutan dan namanya, kampung adalah rangkaian cerita dengan kisah-kisah penuh warna. Ia adalah tempat seseorang dilahirkan dan dibesarkan, tinggal menetap, dengan segala dinamika kehidupannya. Ada kenangan dan nostalgia di sana.
Bahkan, tak hanya bertautan dengan urusan personal dan emosional. Kampung bisa membentuk karakter dan jati diri seseorang.
KAMPONG dalam konteks buku yang ditulis oleh Nasrul (2025), merupakan kisah perkampungan di Kota Makassar, yang bukan sekadar merujuk pada tempat atau nama tempat (toponimi).
Lebih dari itu, KAMPONG adalah sejarah, identitas budaya, pusat aktivitas ekonomi, dan muasal kota bergerak dan bertumbuh.
Kampung sudah ada sejak zaman baheula, sejak manusia mulai hidup menetap dan membentuk komunitas. Awalnya kampung-kampung terbentuk di sekitar sumber air, seperti aliran sungai, karena air sangat penting untuk kebutuhan hidup sehari-hari manusia.
Faktor yang ikut mempengaruhi pembentukan kampung antara lain, letak geografis, sumber daya alam, struktur sosial, budaya serta tradisi. Setiap kampung ini tentu punya karakteristik yang unik dan berbeda-beda.
Terdapat beberapa teori terkait pembentukan kampung.
Pertama, teori konsentrasi, yang menjelaskan bahwa kampung terbentuk lantaran adanya konsentrasi penduduk di suatu wilayah tertentu, seperti sumber air dan tanah yang subur.
Kedua, teori difusi, yang menyatakan terbentuknya suatu kampung karena adanya difusi budaya dan teknologi dari suatu wilayah ke wilayah lainnya.
Ketiga, teori ekologi, yang mensyaratkan terbentuknya kampung pada adanya interaksi antara manusia dan lingkungan sekitarnya, seperti tanah, air, dan vegetasi.
Keempat, teori sosial bahwa struktur sosial dan hubungan antara penduduk, seperti keluarga, klan, dan suku, yang membentuk suatu kampung.
Kota-kota besar, yang kemudian menjelma menjadi metropolitan atau megapolitan, juga bermula dari kampung kecil.
Teori-teori perkembangan kota, dengan segala argumentasinya, selalu menyertakan kampung.
Berdasarkan sejarah kita di Sulawesi Selatan, Somba Opu berkembang setelah ibu kota Kerajaan Gowa-Tallo dipindahkan dari bukit Tamalate ke kawasan di dekat Sungai Jekneberang, pada masa pemerintahan Daeng Matanre Karaeng Manguntungi Tu Mapakrisi Kallonna, sekira tahun 1510.
Alasan pemindahan ibu kota oleh Raja Gowa IX tersebut, untuk menjadikan Gowa-Tallo sebagai kerajaan maritim dan bandar transito dengan Somba Opu sebagai pelabuhan dan pertahanan.
Tampak bahwa ada kombinasi alasan geografis, sosial, ekonomi, politik, dan militer, kala itu. Bisa dibayangkan, perkembangan kampung-kampung di situ, setelah perpindahan ibu kota Kerajaan Gowa-Tallo tersebut.
Kehadiran Kota Makassar, tak bisa dilepaskan dari sejarah Kerajaan Gowa-Tallo, yang mencapai puncak kejayaannya di masa Sultan Hasanuddin, 1653-1669. Namun, kemudian meredup pasca Perjanjian Bongaya, 18 November 1667.
Kehadiran kolonialisme Belanda tentu ikut mempengaruhi dinamika sosial dan lanskap Kota Makassar, yang sudah pasti mengikuti kepentingan mereka sebagai penjajah. Demikian halnya setelah Indonesia memproklamasikan Kemerdekaan, pada 17 Agustus 1945, wajah kota ini kerap bersalin rupa, termasuk perkampungannya.
Makassar, misalnya, pada 1 April 1906, berstatus sebagai Gemeente atau Kotamadya, lalu berubah menjadi Kota Besar Makassar (KBM) di tahun 1950. Selanjutnya menjadi Daerah Tingkat II Kotapradja Makassar, tahun 1959.
Makassar dalam perkembangan berikutnya ditetapkan menjadi ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, tahun 1965. Masih di tahun yang sama, Daerah Tingkat II Kotapradja Makassar diubah lagi menjadi Daerah Tingkat II Kotamadya Makassar. Kala itu, wilayah administratifnya hanya mencakup 21 kilometer persegi, terdiri dari 8 kecamatan dan 48 lingkungan.
Pada tahun 1971, nama Makassar berubah menjadi Ujungpandang, pada era Walikota H.M. Daeng Patompo (1962-1978). Luas kota juga kian lebar menjadi 175,77 kilometer persegi, merambah sebagian wilayah Kabupaten Gowa, Maros, dan Pangkep.
Cerita masih berlanjut. Nama Makassar dikembalikan pada tahun 1999, menggantikan Ujungpandang. Ini terjadi di masa Walikota H.B. Amiruddin Maula (1999-2004). Sejak akhir tahun 2019, wilayah Makassar secara administratif terdiri dari 15 kecamatan dengan 153 kelurahan.
Dalam sebuah obrolan grup WhatsApp Forum Literasi Gowa, seorang anggota grup membagikan informasi berupa 75 Nama-Nama Kampung di Makassar, tahun 1893, yang menurutnya disusun oleh Kapitein der Infanterie Seyjdlitz Kurzbach, H.F.W.B.E., Biro Topografi Batavia.
Berdasarkan informasi itu, sejumlah nama-nama kampung yang disusun dari utara ke selatan dan selatan ke utara tersebut, banyak yang sudah berubah menjadi kelurahan/kecamatan di masa sekarang, dan ada pula yang sudah hilang atau menjadi bagian dari kelurahan lain.
Batavia merupakan ibu kota Hindia Belanda di masa kolonial. Pada tahun 1893, biro topografi di Batavia adalah bagian dari “Topografische Dienst van Nederlands-Indie” (Biro Topografi Hindia Belanda) yang dipimpin oleh seorang kepala biro (directeur).
Biro ini bertanggung jawab atas pembuatan dan penerbitan peta-peta di wilayah Hindia Belanda, yang dimanfaatkan untuk keperluan perencanaan infrastruktur, pembangunan, dan pertahanan. Rentang masa dari Abad XIX ke Abad XXI, tentu saja membuat banyak hal berubah. Nama-nama dan istilah-istilah berbau londo, ejaan lama, dan lain-lain tak lagi ditemukan.
Dalam kaitan inilah kehadiran buku “KAMPONG: Kisah Perkampungan di Makassar”, menemukan urgensinya. Perkembangan kota yang memberi konsekuensi terjadinya banyak perubahan itu, perlu direkam, ditulis, dan dibukukan.
Fakta-fakta menarik yang diungkap dalam buku ini, seperti kawasan Pecinan, Kampung Arab, termasuk perkembangan Makassar, dalam kaitan dengan jalur rempah, teramat sayang jika tidak terdokumentasi baik.
Menurut buku ini, ada empat elemen yang membentuk Makassar. Pertama, yakni kehidupan dalam benteng, dengan Fort Rotterdam sebagai pusat pemerintahan. Kedua, kampung yang berkembang di sebelah timur laut Fort Rotterdam, yang didominasi orang asing dan pendatang (Negory Vlaardingen), di antaranya orang-orang Tionghoa peranakan. Ketiga, permukiman di utara Vlaardingen yang dihuni oleh orang-orang Melayu. Keempat, kawasan permukiman di sebelah selatan Fort Rotterdam, yang kita kenal sebagai Kampung Baru.
Nasrul, merupakan sedikit di antara warga Makassar—penulis dan pekerja buku—yang menaruh perhatian terhadap kota ini. Dia mengingatkan kita akan pentingnya pengarsipan sejarah kota. Menurut pengakuannya, dia memiliki keterkaitan terhadap sejarah Kota Makassar, sejak bekerja sebagai jurnalis.
Dia pernah mengelola majalah Mari Ke Mari, selama 11 tahun (2001-2012), yang membuatnya rutin menyusuri jalan-jalan dan kampung-kampung di Makassar. Dari pengalaman itu, dia lantas menulis buku “PLANG: Cerita di Balik Nama Jalan di Makassar” (2018). Dan kini berlanjut menulis buku KAMPONG.
Toponimi di Makassar, ada yang terkait dengan tumbuh-tumbuhan atau tanaman khas di situ, ada yang terkait dengan aktivitas atau pekerjaan masyarakat setempat, juga ada yang berkaitan dengan alam, topografi atau kondisi geografinya.
Ada pula yang dikaitkan dengan nama tokoh, berupa seorang pemberani (antara lain: Daeng ri Lakkang), atau penyebar agama (antara lain: Lo’mo ri Antang). Bisa dibayangkan, nama-nama yang sudah menjadi landmark ini, kemudian diubah secara instan hanya untuk kepentingan pencitraan.
Lewat program Lorong Wisata (Longwis) nan ambisius, lorong-lorong di kampung-kampung yang notabene punya nilai sejarah, kental tradisi budaya, dan menjadi penanda identitas Makassar dan kemakassaran itu, ironisnya justru diganti namanya oleh pemerintah kotanya sendiri.
Nama-nama asing, berbau kebarat-baratan, dan antah-berantah itu, disematkan hanya untuk mendapat label sebagai kota dunia. Dalihnya, branding yang memadukan nuansa lokal dan nama kota besar dunia itu akan menjadi daya tarik dan memperkuat branding yang sudah ada.
Maka lebih 2000 Longwis itupun disulap. Bahkan target Longwis ini sebanyak 5000. Nama-namanya pun bermacam-macam, ada Lorong Wisata Sydney, Lorong Wisata Jincheng (Shanxi), Lorong Wisata Kyoto, Lorong Wisata Maastricht, Lorong Wisata Zurich, dan lain sebagainya.
Terlepas bahwa ada 21 konten kreatif terkait Longwis, dan masing-masing Longwis diminta mengembangkan sesuai potensinya, atau telah memberi manfaat bagi warga sekitar.
Namun, yang dipersoalkan dalam tulisan ini, yakni mengubah nama toponomi yang sejatinya merupakan kekhasan dari kampung-kampung tersebut.
Toponimi, sebagaimana sudah dipaparkan, punya sejarah panjang. Tanpa kebijakan seperti yang ditempuh Pemkot Makassar pun, toponimi itu akan berubah dan bahkan hilang akibat perkembangan kota.
Munculnya kawasan perumahan dan pusat-pusat bisnis, membuat orang lebih mengingat nama kompleks perumahan atau kawasan bisnis itu, dibanding nama kampungnya.
Contohnya, orang lebih mengenal Perumnas Tamalate dan Perumnas Toddopuli, daripada Kampung Kassi-Kassi, lokasi di mana sebagian Perumnas itu berada, dan Monumen Emmy Saelan berdiri.
Contoh lainnya, kita lebih akrab dengan nama Latanete Plaza dibanding nama kampung Ambon Kamp. Mal di Jalan Sungai Saddang, yang bersebelahan dengan Jalan Gunung Nona ini, memang masuk Kelurahan Pisang Selatan, tapi lebih populer disebut Ambon Kamp. Sebab di situ banyak tinggal orang Ambon yang dulu merupakan eks prajurit KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger).
Dahulu, kata Yudhistira Sukatanya, di situ ada pula Hotel Negara milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Hotel ini punya aula yang sewaktu-waktu dipergunakan sebagai tempat pertunjukan sandiwara/drama panggung (baca: “Makassar Doeloe Makassar Kini Makassar Nanti”, editor: Yudhistira Sukatanya & Goenawan Monoharto, Yayasan Losari Makassar, 2000).
Begitupun dengan pemekaran wilayah. Tidak selalu nama kantor kelurahan berada tepat di mana kampungnya berada.
Kantor Lurah Paropo, misalnya, yang berada di Jalan Toddopuli Raya Nomor 100—berhadapan dengan Pasar Toddopuli—merupakan Kampung Pannyikkokang. Adakah yang tahu itu? Jangan-jangan, kita lebih ingat baliho, mini market, warung, bengkel, atau suatu tempat di situ daripada nama kampungnya.
Bila dibahas lebih jauh, akan semakin kita temukan nama-nama kampung yang tidak pernah lagi disebut-sebut dan dipercakapkan, mungkin juga oleh warga setempat. (*)