Ternyata melihat kami bergabung dengan Pak Eddie Nalapraya dan wartawan lainnya, lelaki kekar itu langsung raib entah ke mana. Soalnya, dia bisa bermasalah jika sempat terlihat oleh Pak Eddie yang kebetulan selain Wakil Gubernur DKI Jakarta, juga dari kesatuan Polisi Militer dengan pangkat mayor jenderal.
Setelah mendengar laporan Erwin, teman-teman wartawan yang semula memiliki agenda pertanyaan yang lain, tiba-tiba beralih kepada kasus yang menimpa saya dan Erwin.
“Bagaimana itu, Pak Eddie, kok ada wartawan mau ditangkap?,” seorang wartawan sempat mengajukan pertanyaan.
“Ah… sudah. Tidak ada itu. Nanti kalau ada yang mau tangkap wartawan, lapor kepada saya,” kata Pak Eddie dengan tegas, sekaligus menyamankan perasaan saya dan Erwin.
Setelah mengingat-ingat biang kejadian kami ditangkap itu ternyata gara-gara sebuah balon udara berbentuk seperti pesawat mini yang bertuliskan nama sponsor yang namanya sama dengan pada rompi yang kami kenakan. Bahkan, semua wartawan memperoleh rompi tersebut karena diberikan saat menerima perlengkapan peliputan.
Balon udara itu terbang dan melayang-layang di atas areal dalam stadion kemudian menghilang. Saat itu di panggung kehormatan ada Presiden Soeharto dan pejabat penting lainnya yang siap membuka Pesta Olahraga Asia Tenggara tersebut.
Tampaknya ada kamera tersembunyi di balon tersebut yang dapat mengabadikan kegiatan di bawahnya. Kalau kamera saja tidak apa-apa, bagaimana kalau pesawat/balon udara itu membawa senjata kemudian membombardir ke bawah, panggung kehormatan, jelas ceritanya menjadi sangat mengerikan dan lain.
Melayangnya balon udara tersebut boleh jadi tanpa koordinasi dan komunikasi dengan Panitia SEA Games 1987, khususnya dengan pihak keamanan dan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres).
Dari segi keamanan, hadirnya balon udara itu merupakan kelalaian. Pihak keamanan sudah kecolongan. Meskipun diakui, itu sulit dideteksi karena balon udara itu bisa saja diterbangkan dari arah mana saja.
Jadi, tampaknya kami berdua (sebenarnya semua wartawan) dianggap memiliki hubungan dengan nama sponsor yang ada di bagian luar balon tersebut. Meskipun kasus ini selesai setelah kami bertemu dengan Pak Eddie M.Nalapraya, namun secara psikologis kami berdua sedikit trauma.
Keesokan harinya, mumpung SEA Games baru pada hari-hari awal, saya mengajak Erwin meninggalkan Jakarta menuju Kuningan Jawa Barat. Pagi hari, kami naik bus menuju Bandung, kemudian berganti kendaraan bus tua menuju Kuningan Jawa Barat. Hari sudah malam kami tiba di ibu kota kabupaten itu dan berjalan kaki merambah kota menemukan alamat kediaman teman yang dituju.
Mayjen CPM (Purn.) Eddie Marzuki Nalapraya yang lahir di Tanjung Priok Jakarta, 6 Juni 1931 berpulang di Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta Selatan, pukul 09.50 WIB Selasa (13/5/2025) dalam usia 93 tahun. Semasa hidupnya pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) (1998-2003), Wakil Gubernur DKI Jakarta (1984-1987) pada saat R.Soeprapto sebagai Gubernur. Almarhum mulai berdinas di TNI antara tahun 1950 hingga 1984.
Nama Eddie M.Nalapraya tidak dapat dipisahkan dari olahraga Pencak Silat. Dia merupakan orang Betawi asli yang dikenal sebagai Bapak Pencak Silat Indonesia. Presiden Prabowo Subianto melayat mendiang Wakil Gubernur Jakarta itu di Padepokan Silat TMII, Jakarta Timur. Prabowo mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya tokoh pencak silat tersebut. (M.Dahlan Abubakar)