Oleh: DR SRI GUSTY, ST, MT (Akademisi dan Penulis)
Setiap tanggal 17 Mei, Indonesia memperingati Hari Buku Nasional. Momentum ini bukan hanya soal mengingat pentingnya buku sebagai jendela dunia, tetapi juga saat yang tepat untuk merenungkan perjalanan kita bersama tulisan, baik sebagai pembaca maupun sebagai penulis.
Tawaran dunia yang serba cepat dan instan, kehadiran buku menjadi oase yang tak tergantikan. Mengajak kita lebih awas menyimak, berpikir, dan menyelami makna dengan lebih tertata.
Hari Buku Nasional bagi saya adalah jeda untuk menyapa kembali hobi yang sempat terlelap. Kecintaan pada dunia tulis-menulis sejak kecil, mengisi halaman-halaman buku harian, menulis puisi dan mengarang cerita pendek. Namun, jalan hidup memperkenalkan saya dengan beragam kegiatan prioritas, hingga menulis nyaris terlupakan.
Titik baliknya pada tahun 2019. Tidak ada target besar, saat itu hanya merekonstruksi naskah disertasi menjadi buku, tidak pula dibayangi ambisi yang muluk. Hanya dorongan hati untuk kembali berdialog dengan diri sendiri dan dunia melalui tulisan.
Dari sana, lahirlah naskah pertama yang akhirnya diterbitkan. Satu demi satu, tulisan saya terjilid menjadi buku, dan hingga hari ini, terhitung enam tahun, saya bersyukur telah menerbitkan 30 judul buku. Kecintaan pada buku itu pula yang menjembatani lahirnya penerbitan buku “Arsy Media”.
Tentu saja, banyak penulis yang telah jauh melampaui pencapaian ini, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Bahkan, ada yang bisa menerbitkan puluhan buku dalam waktu singkat.
Namun bagi saya, ini bukan tentang banyaknya jumlah. Melainkan bagaimana menulis menjadi proses pembelajaran seumur hidup. Tentang keberanian untuk memulai, tentang kesabaran untuk terus menulis dan tentang konsistensi untuk menjaga semangat di tengah kesibukan.
Jika bicara tentang keberanian untuk memulai dari nol, tidak sedikit penulis besar dunia yang merasakan hal serupa. Salah satunya adalah JK Rowling. Penulis seri novel Harry Potter, yang telah terjual lebih dari 500 juta salinan dan diterjemahkan ke dalam 80 bahasa.
Rowling memulai menulis di tengah tekanan hidup yang berat. Ia seorang ibu tunggal, menganggur, dan hidup dari tunjangan sosial. Naskah pertamanya ditolak oleh 12 penerbit besar.