Dia menyebutkan, dari seluruh perjalanan akademik yang ditempuhnya dalam bidang sosiolinguistik, semakin yakin bahwa bahasa bukanlah sekadar alat, melainkan ia adalah cermin dari struktur sosial dan budaya masyarakat dan alat legitimasi simbolik.
“Di sinilah letak urgensi kita semua — khususnya kalangan akademisi — untuk tidak hanya memahami bahasa secara struktural, tetapi juga secara fungsional dan etis,” ujar Profesor lulusan Bahasa Indonesia Fakultas Sastra Unhas 1994 tersebut dalam orasinya berjudul “Bahasa dan Martabat Sosial: Suatu Analisis Sosiolinguistik Transformatif dalam menjawab Disrupsi Komunikasi di era Digital”.
Alumni Magister UGM 2004 ini menyebutkan, melalui pendekatan sosiolliguistik transformatif yang ditawarkannya mengajak semua pihak menghidupkan kembali fungsi luhur bahasa sebagai penjaga martabat manusia dan pemersatu bangsa. Dalam era digital yang penuh dengan kebisingan dan percepatan ini, hendaknya kita meletakkan nilai-nilai kesantunan, empati, dan inklusivitas sebagai fondasi dalam berbahasa.
“Mari kita ubah cara menggunakan bahasa, bukan untuk menyakiti, melainkan untuk menyembuhkan. Bukan untuk memecah, melainkan untuk menyatukan,” kata lulusan Doktor Unhas tahun 2015 itu.
Guru Besar yang saat ini menjabat Ketua Departemen Sastra Indonesia FIB Unhas ini menyebutkan, sosiolinguistik merupakan ilmu harapan. Ia memberi alat untuk memahami dunia, tetapi juga kearifan untuk memperbaikinya. Dengan membangun kesadaran lingustik yang lebih tinggi di kalangan masyarakat kita sedang menyiapkan generasi masa depan yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga melek etika komunikasi. Kita sedang membangun peradaban. (mda)