PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Bahasa merupakan cermin batin kolektif sebuah bangsa. Ketika bahasa menjadi sarana kekerasan, yang terluka bukan hanya individu, melainkan juga nilai-nilai kemanusiaan. Makanya, sosiolinguistik harus hadir sebagai penyembuh.
“Sosiolinguistik tranformatif merupakan jalan ilmiah yang berpihak pada kemanusiaan. Dengan menguatkan kesadaran lingustik, membangun etika berbahasa, dan mendorong regulasi komunikasi yang adil, kita bukan hanya membenahi cara orang berbahasa, melainkan juga memulihkan cara orang memperlakukan sesama,” kata Prof.Dr. Munira Hasjim, SS, M.Hum, dalam pidato Pengukuhan dan Penerimaan sebagai Anggota Dewan Profesor dalam Bidang Ilmu Sosiolinguistik Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas, di Ruang Senat Unhas Kampus Tamalanrea, Selasa (17/6/2025).
Pada saat bersamaan juga menyampaikan pidato serupa dari FIB Unhas, Prof. Dr. Andi Muhammad Akhmar, SS, M.Hum (Bidang Ilmu Kajian Sastra dan Budaya) dan Prof. Dr. Mardi Adi Armin, M.Hum (Bidang Ilmu Filsafat Bahasa) serta Prof. Dr. Ansar Arifin, MS (Bidang Ilmu Antropologi Maritim Departemen Antropologi FISIP Unhas).
Rapat Paripurna Senat Akademik Unhas untuk mengukuhkan Profesor ke-586, 587, 588, dan 589 Unhas tersebut dipimpin Ketua Senat Akademik Prof. Dr. Bahruddin Thalib, drg, M.Kes, Sp.Pros (K) dan dihadiri Ketua dan Anggota Majelis Wali Amanat (MWA), Rektor Unhas Prof. Dr. Jamaluddin Jompa, M.Sc, Ketua Dewan Profesor Prof. Dr. Andi Pangeran Moenta, SH, DFM, para anggota Senat Akademik Unhas, pimpinan dan tenaga akademik FIB dan FISIP Unhas beserta keluarga para Profesor yang dikukuhkan.
Munira Hasjim yang lahir di Sungguminasa 10 Mei 1971 itu mengatakan, bahasa bisa menjadi alat untuk merangkul, tetapi juga bisa menjadi senjata untuk memukul. Bahasa adalah jantung kemanusiaan dan hadir bukan semata-mata untuk menyampaikan informasi, melainkan juga menjalin makna, membangun hubungan, dan memelihara harmoni dalam dalam kehidupan.
Dia menyebutkan, dari seluruh perjalanan akademik yang ditempuhnya dalam bidang sosiolinguistik, semakin yakin bahwa bahasa bukanlah sekadar alat, melainkan ia adalah cermin dari struktur sosial dan budaya masyarakat dan alat legitimasi simbolik.
“Di sinilah letak urgensi kita semua -- khususnya kalangan akademisi -- untuk tidak hanya memahami bahasa secara struktural, tetapi juga secara fungsional dan etis,” ujar Profesor lulusan Bahasa Indonesia Fakultas Sastra Unhas 1994 tersebut dalam orasinya berjudul “Bahasa dan Martabat Sosial: Suatu Analisis Sosiolinguistik Transformatif dalam menjawab Disrupsi Komunikasi di era Digital”.
Alumni Magister UGM 2004 ini menyebutkan, melalui pendekatan sosiolliguistik transformatif yang ditawarkannya mengajak semua pihak menghidupkan kembali fungsi luhur bahasa sebagai penjaga martabat manusia dan pemersatu bangsa. Dalam era digital yang penuh dengan kebisingan dan percepatan ini, hendaknya kita meletakkan nilai-nilai kesantunan, empati, dan inklusivitas sebagai fondasi dalam berbahasa.
“Mari kita ubah cara menggunakan bahasa, bukan untuk menyakiti, melainkan untuk menyembuhkan. Bukan untuk memecah, melainkan untuk menyatukan,” kata lulusan Doktor Unhas tahun 2015 itu.
Guru Besar yang saat ini menjabat Ketua Departemen Sastra Indonesia FIB Unhas ini menyebutkan, sosiolinguistik merupakan ilmu harapan. Ia memberi alat untuk memahami dunia, tetapi juga kearifan untuk memperbaikinya. Dengan membangun kesadaran lingustik yang lebih tinggi di kalangan masyarakat kita sedang menyiapkan generasi masa depan yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga melek etika komunikasi. Kita sedang membangun peradaban. (mda)