Pada Maret 2025, perwakilan masyarakat adat menyerahkan petisi kepada DPRD Raja Ampat, menegaskan bahwa tanah mereka adalah kawasan sakral yang tidak bisa ditambang.
Kajian WALHI Papua menunjukkan pola yang mengkhawatirkan: masyarakat adat sering kali kehilangan tanah mereka tanpa persetujuan yang adil. Ini bukan hanya krisis lingkungan; ini adalah krisis hak asasi manusia. Suara mereka adalah suara yang paling penting, namun paling sering diabaikan.
“What’s the True Cost of Your Nickel?” Ini adalah pertanyaan yang harus dijawab oleh setiap konsumen dan produsen mobil listrik di dunia.
Kebijakan moratorium sementara yang diumumkan pemerintah patut diapresiasi, namun menurut Penulis belum cukup untuk mengimbangi laju kerusakan yang sudah terjadi.
Inilah bukti nyata bahwa narasi transisi energi global sering kali menjadi tameng untuk menjustifikasi perampasan ruang hidup masyarakat adat dan perusakan ekosistem tropis yang rapuh.
Dunia tampaknya lupa, atau sengaja melupakan, bahwa ekosistem seperti Raja Ampat justru adalah pondasi nyata dari ketahanan iklim global, bukan sekadar tambang nikel.
Penulis percaya, pemerintah sungguh serius ingin memimpin transisi energi berkelanjutan, maka pilihan tegas harus diambil: lindungi Raja Ampat sepenuhnya, jadikan kawasan ini bukti komitmen Indonesia terhadap keadilan iklim, bukan korban berikutnya dari ambisi industri global.
Jalan ke Depan: Tiga Langkah Mendesak
Pertama, Penulis berpendapat, jadikan moratorium sementara ini sebuah larangan permanen untuk semua aktivitas pertambangan di seluruh kawasan Raja Ampat. Perkuat ini dengan peraturan presiden yang melindungi Raja Ampat sebagai zona konservasi absolut, sejalan dengan putusan MK.
Kedua, Penulis melihat audit total dan penegakan hukum tanpa kompromi sebagai langkah yang tak bisa ditunda lagi. Perusahaan yang terbukti melanggar harus menghadapi sanksi pidana dan perdata, bukan hanya sanksi administratif.
Ketiga, dunia internasional, termasuk perusahaan otomotif dan lembaga keuangan, harus menuntut rantai pasok nikel yang bersih dari perusakan lingkungan dan pelanggaran HAM. Penulis merasa ini adalah saatnya bagi dunia global untuk lebih bertanggung jawab.
Raja Ampat adalah ujian bagi kita semua. Apakah kita akan puas dengan solusi sementara, atau mendorong perubahan fundamental?
Raja Ampat hari ini bukan hanya soal lingkungan, tapi soal reputasi bangsa di mata dunia. Dalam era komunikasi global, narasi transisi energi hijau harus selaras dengan komitmen menjaga hak masyarakat adat dan kelestarian ekosistem.
Jika pesan ini tak dikelola dengan tepat, dunia bisa melihat Indonesia sebagai pelanggar, bukan pelopor solusi iklim.
Maka pertanyaannya: akankah kita membiarkan surga terakhir ini rusak, atau menjadikannya bukti nyata kepemimpinan Indonesia dalam pembangunan berkelanjutan? Inilah momentum komunikasi strategis untuk menguatkan citra, bukan sekadar mengelola krisis.
Adekamwa
Humas Pusjar SKMP LAN