PEDOMANRAKYAT, MAROS – Staf Ahli Menteri Kebudayaan RI, Prof. Ismunandar, Ph.D menegaskan, pengusulan suatu objek menjadi “World Heritage Site” (WHS) harus datang dari bawah, pemerintah daerah dan pemerintah provinsi. Pengusul pertama adalah dari “stakeholders”, membentuk tim nominasi, dan manajer proyeknya.
“Tim nominasi yang harus bekerja dengan mengundang para pakar dan ahli. Pemerintah kabupaten mengusulkan objek itu kepada pemerintah provinsi untuk selanjutnya ke pemerintah pusat,” ujar Prof. Ismunandar, Ph.D dalam sesi terakhir Konferensi Internasional Gau Maraja Leang-Leang yang dilaksanakan di Gedung Serbaguna Kompleks Kantor Bupati Maros, Sabtu (5/7/2025) sore.
Di Maros sudah ada UNESCO Geopark (2023) dan Bantimurung Biosphere. Kedua objek ini diakui sebagai Cagar Biosphere (biosfer), yakni kawasan yang dilindungi untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan ekosistem alam. Pengakuan-pengakuan seperti ini harus dimulai dari bawah.
“Untuk Pangkep-Maros ini, belum masuk cagar budaya nasional. Pemerintah Kabupaten Maros harus mendorong menjadi cagar budaya provinsi, kemudian diakui sebagai cagar budaya nasional,” ujar Prof. Ismunandar, Ph.D dalam orasinya berjudul “Leang-Leang Goes to World Heritage”.
Irmunandar mengatakan, titik akhirnya adalah “World Heritage” (Warisan Dunia) dan karena terbatas, tentu tidak semua masuk. Dia harus benar-benar unik atau bahasa di UNESCO “Outstanding universal values” (memiliki nilai-nilai penting yang universal) dan satu-satunya di dunia.
“Contoh, Sydney Opera House, menjadi “World Heritage” karena keunikan arsitekturnya. Borobudur, karena memiliki kriteria, salah satu di antaranya, keunikan dan satu-satunya candi yang dibangun pada abad IV,” lulusan Jurusan Kimia ITB (1992) itu melanjutkan.
Intinya, kata Ismunandar, kalau ingin memasukkan Leang-Leang Maros-Pangkep menjadi “World Heritage Site”, maka kita harus menunjukkan itu, “outstanding universal values” dan harus benar-benar unik. Karena ini biasanya banyak, ada yang harus bisa dipilih. Salah satu yang terunik di dunia.
Menurut Ismunandar, seperti yang diungkapkan di Maros Geopark itu ada yang ditunjukkan Geopark, biosfer dan nanti yang diusulkan itu yang mana ? Yang pertama, wilayahnya di mana saja yang terdapat objek yang diusulkan itu. Kalau benar-benar sudah ditemukan nilai-nilai penting yang universal-nya, semakin banyak destinasi semakin baik dan “World Heritage” yang akan membiayai budaya atau warisan alamnya. Sebab, bisa warisan dunia berupa budaya atau alam. Alam misalnya di Indonesia, seperti Pulau Komodo menjadi “World Heritage” berdasarkan kriteria alam. Dalam bidang budaya, Borobudur atau Prambanan.
Tantangan beratnya adalah di mana masyarakat yang dekat dengan gua dan lukisan purba itu, ternyata banyak pertambangan, eksplorasi tambang. Padahal, kalau di “UNESCO World Heritage Site” sama sekali tidak boleh ada aktivitas pertambangan. Di daerah yang hendak kita usulkan tidak boleh ada pertambangan dan harus segera diputuskan bersama. Yang memutuskan adalah “stakeholders” yang ada di daerah lokasi tersebut.
“Bahkan bukan saja ‘site’ (lokasi konservasi), melainkan juga ‘zone’ (wilayah) tidak boleh ada kegiatan pertambangan. Apakah kita mau memperoleh manfaat ekonomi dari aspek pertambahannya atau pada aspek memelihara warisan dunia-nya,” Ismunandar menambahkan.
Masalah lain adalah, dalam pengusulan “World Heritage Site” itu, apakah warisan alam, seperti Komodo dan Ujung Kulon dengan badak bercula satu, atau di Papua, berupa Taman Nasional Lorenz, yang memiliki ekosistem pantai, sampai ekosistem salju abadi di Puncak Gunung Jaya Wijaya dengan wilayah yang sangat luas. Itu taman nasional alam.
Bisa juga WHS berupa warisan budaya. Seperti juga Subak (tradisi irigasi) di Bali dan diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO 2012 atau Tambang Ombilin, di Sawahlunto, Sumatera Barat yang beroperasi tahun 1891 merupakan warisan dunia UNESCO (2019) juga karena merupakan situs teknologi pertambangan awal-awal dan tertua di Asia Tenggara dan satu-satunya tambang bawah tanah di Indonesia. Tambang ini dibuka pada abad XIX ketika zaman penjajahan Belanda. Yang terakhir dan baru dicatat di UNESCO adalah Yogya, yakni keraton dan sekitarnya sebagai warisan budaya dunia.