PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Langit Madinah belum sepenuhnya terang ketika Hj. Suci Novikana alias Cici memeluk ibunya, Siti Nurbaja, di ruang tunggu Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz.
Tak ada kata-kata panjang. Hanya bisik lirih dan tetes air mata yang tak tertahan. Sebentar lagi, mereka meninggalkan Tanah Suci. Tempat segala rindu, syukur, dan ujian mengendap selama 40 hari terakhir.
Cici bukan siapa-siapa. Ia bukan pejabat, bukan selebritas, apalagi tokoh agama. Ia hanya penjual bubur keliling asal Pomala, Kolaka, Sulawesi Tenggara.
Tapi langkah kakinya ke Tanah Suci Mei lalu menjadi pembicaraan banyak orang. Kisahnya viral di media sosial, yaitu "Tukang Bubur Naik Haji", tulis warganet dengan berbagai komentar haru.
Hari ini, kisah itu akan menemukan babak baru. Cici dan sang ibu dijadwalkan mendarat di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar, Senin dini hari, 7 Juli 2025 pukul 02.45 Wita, bersama rombongan kloter 36 Embarkasi Makassar.
Pesawat Garuda GA 1436 yang mereka tumpangi sempat singgah di Kualanamu, Medan, sebelum terbang ke Makassar.
Kepada tim Humas PPIH Debarkasi Makassar yang menghubunginya beberapa jam sebelum lepas landas, Cici tak banyak berkata. Nada suaranya berat, sesekali tercekat.
"Berat rasanya meninggalkan Tanah Suci. Di sini saya belajar banyak tentang cinta, tentang sabar, dan tentang berbakti," ujarnya pelan.
Sejak keberangkatan, Cici memang terlihat dekat dengan sang ibu. Hampir semua momen penting mereka abadikan dan dibagikan melalui akun Facebook “Argo Bubur Pomala”. Mulai dari thawaf pertama, saat melihat Kakbah, wukuf di Arafah, hingga ziarah ke Raudhah di Masjid Nabawi.
"Setiap langkah, setiap doa kami selalu bersama. Saya tidak tahu apakah ada kesempatan lain nanti. Karena itu, semua ini ingin saya simpan baik-baik di hati," ujarnya.
Perjalanan ibadah mereka tak selalu mudah. Ibadah haji, sebagaimana diketahui, menuntut fisik yang kuat. Tapi sang ibu sudah renta, berjalan pun harus dibantu.
Cici setia mendorong kursi rodanya, tak peduli siang atau malam, ramai atau padat. Baginya, inilah jalan pengabdian yang paling luhur.
Namun Cici juga mengakui, perjalanan mereka dipermudah oleh pelayanan yang diterima di sana. Ia menyebut para petugas haji, baik dari kloter maupun sektor Arab Saudi, sangat membantu.
“Fasilitas seperti bus shalawat dan layanan murur benar-benar menyelamatkan. Kalau tidak, mungkin kami tidak bisa menyelesaikan semuanya,” katanya.
Di balik pujian itu, ada juga kisah-kisah kecil yang tak tersorot kamera, malam tanpa tidur di Mina, tangis diam-diam saat Tawaf Wada’, dan rasa sesak ketika mendengar, esok mereka akan kembali ke Indonesia.
“Rasanya seperti ingin menunda pulang. Tapi saya tahu, semua ada akhirnya,” kata Cici, pelan.
Kloter 36 sendiri berisi 392 jemaah asal Sulawesi Tenggara. Dua orang tanazul lebih awal, dua lainnya bergabung dari kloter sebelumnya.
Menurut petugas kloter, H. Fardin, seluruh jemaah berada dalam kondisi stabil. Ia meminta doa agar perjalanan mereka lancar hingga tiba di kampung halaman.
Bagi Cici, momen ini lebih dari sekadar ibadah haji. Ia menyebutnya "hadiah hidup". "Saya cuma tukang bubur. Tapi karena doa ibu, saya sampai di tempat paling mulia di muka bumi. Mungkin ini cara Tuhan menunjukkan, semua orang berhak punya mimpi," tuturnya.
Kini, ia pulang dengan hati penuh. Bukan hanya karena telah menuntaskan rukun Islam kelima, tapi juga karena ia tahu telah menunaikan satu hal yang lebih dalam, yaitu menjadi anak yang berbakti. (Hdr)