Menurut Anggareksa, langkah tersebut bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
“UU sudah jelas, pengembalian uang negara tidak menghapus pidana. Itu hanya menjadi pertimbangan keringanan hukuman di pengadilan, bukan dasar untuk menghentikan proses hukum,” tegasnya.
Ia khawatir, jika pola ini terus dipertahankan, akan muncul preseden buruk dalam penegakan hukum di masa mendatang.
“Kalau koruptor bisa lolos hanya dengan mengembalikan uang, berarti ke depan cukup korupsi dulu, kembalikan kemudian, lalu selesai. Itu bahaya,” katanya.
Dugaan korupsi ART DPRD Tana Toraja merupakan bagian dari persoalan yang lebih luas, menyangkut tata kelola anggaran DPRD di sejumlah kabupaten dan kota di Sulsel. ACC telah menyerahkan laporan awal kepada aparat penegak hukum sejak 2024. Namun hingga kini, belum ada satu pun kasus yang masuk ke tahap penyidikan.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Soetarmi, membenarkan kasus ART DPRD Tana Toraja masih berada dalam tahap penyelidikan. Ia meminta publik bersabar menanti perkembangan lebih lanjut.
“Tunggu saja, nanti pasti akan kami ekspose,” ujar Soetarmi singkat.
Namun, tak adanya kepastian waktu penyelesaian, menurut ACC, menunjukkan adanya kelemahan komitmen dari Kejati Sulsel dalam menangani kasus-kasus korupsi di wilayahnya, Anggareksa, Koordinator ACC Sulawesi, menandaskan. (Hdr)