Oleh: Andi Fahri Makkasau (Andalan Nasional / Kepala Pusdiklatda Sulawesi Selatan)
PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Ditengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang kian cepat dan bising, ada satu suara yang tetap memanggil panggilan untuk mengabdi. Suara itu tak memandang usia, jabatan, atau latar belakang. Ia adalah suara yang diajarkan sejak kita mengenakan seragam cokelat muda, berdiri tegap di lapangan upacara, mengucapkan Tri Satya dan Dasa Darma dengan dada berdebar. Itulah suara Gerakan Pramuka sebuah janji setia untuk berbuat baik, membela kebenaran, dan menjaga tanah air.
Tema Hari Pramuka ke-64 tahun 2025, “Kolaborasi untuk Membangun Ketahanan Bangsa”, bukan sekadar rangkaian kata indah. Ia adalah ajakan untuk merajut kembali semangat kebersamaan, memperkuat pendidikan karakter, dan mempersiapkan generasi muda menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks.
Sejak berdiri, Gerakan Pramuka telah menjadi wadah pembinaan generasi muda yang mengintegrasikan nilai kebangsaan, keterampilan hidup, dan pengabdian masyarakat. Sejarah kelahirannya yang berpijak pada Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961 menegaskan perannya sebagai organisasi kepanduan tunggal. Kehadiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka (UUGP) memperkokoh posisi tersebut.
Namun, tantangan yang dihadapi Pramuka kini berbeda. Sebagaimana diingatkan oleh Kak Muchamad Taufiq (Annas Orgakum) dalam opininya di Jawa Pos (15/08/2025), arus digitalisasi selain membawa peluang juga menghadirkan ancaman sosial yang nyata, penyalahgunaan narkoba, bullying, judi online, pornografi, tawuran pelajar, hingga penetrasi budaya asing yang dapat mengikis semangat gotong royong. Kondisi ini menuntut Pramuka untuk terus relevan, adaptif, dan tidak terjebak pada rutinitas seremonial.
Pramuka memiliki kekuatan melalui metode learning by doing, belajar melalui pengalaman langsung. Pendekatan ini membentuk pribadi problem solver, individu yang terbiasa mencari solusi kreatif, berjiwa pemimpin, dan bertanggung jawab. Sebagai orang yang telah lama mengabdi di dunia Pramuka, saya percaya pembelajaran di Pramuka tidak hanya membentuk anggota yang cakap secara teknis, tetapi juga memiliki karakter kuat yang menjadi benteng moral bangsa.
Pengalaman saya mengikuti kegiatan Pramuka, baik di lapangan maupun di lingkup organisasi, membuktikan bahwa kekuatan sejati Pramuka terletak pada nilai-nilai yang diajarkannya: disiplin, kebersamaan, kepedulian, dan keikhlasan. Saya pernah menulis, “Lahir ditolong orang, mati digotong orang, lantas apa yang harus kau sombongkan?” Ungkapan ini adalah pengingat bahwa kerendahan hati dan pengabdian adalah inti dari menjadi Pramuka sejati.
Kolaborasi lintas sektor menjadi keharusan. Pramuka tidak boleh berjalan sendiri, tetapi harus bersinergi dengan sekolah, pemerintah, organisasi kepemudaan lain, bahkan sektor swasta. Seperti yang sering saya sampaikan dalam berbagai kesempatan, “Pramuka yang kuat bukan hanya di lapangan upacara, tetapi di hati masyarakat yang merasakan manfaatnya.”
Ke depan, Pramuka harus memperkuat regulasi internal, memanfaatkan teknologi digital untuk pendidikan kepanduan, serta memperluas kegiatan yang menjawab tantangan zaman. Pendidikan kepramukaan di era digital bukan berarti meninggalkan tradisi, tetapi justru mengemasnya agar lebih relevan bagi generasi Z dan Alpha yang lahir di tengah gawai dan internet.
Sebagai gerakan yang telah terbukti membentuk karakter bangsa, Pramuka memiliki tanggung jawab besar untuk mempersiapkan generasi emas 2045. Dan seperti kata Kak Budi Waseso (Ketua Kwarnas), “Inilah yang akan disiapkan Gerakan Pramuka.”
Maka, marilah kita perkuat kolaborasi, jaga jati diri, dan jadikan Pramuka sebagai rumah besar yang melahirkan generasi muda yang tangguh, santun, cerdas, dan siap mengabdi untuk Indonesia.