Dalam konteks inilah, kata lulusan S-1 (1998), S-2 (2000), dan S-3 (2013) IAIN (UIN) Alauddin Makassar itu, kita menyaksikan berbagai bentuk ‘takfiriyyah’ (mudah mengafirkan), ujaran kebencian atas nama agama. Bahkan kekerasan fisik dan simbolik yang diklaim sebagai jihad.
“Fenomena ini sebagai ‘scriptural fundamentalism’, yakni kecenderungan membaca teks agama tanpa mempertimbangkan intensi moral atau latar sosialnya,” ujar Prof. Tasmin mengutip John L.Esposito, kemudian menambahkan. Akibatnya, Islam ditampilkan bukan sebagai agama yang menjunjung keadilan, melainkan sebagai instrumen dominasi dan pemaksaan.
Kondisi ini, imbuh Prof. Tasmin, diperparah oleh masifnya arus digitalisasi yang menyebabkan penyebaran hadis-hadis — terutama yang populer dan bernuansa kontroversial — beredar tanpa validasi, tanpa pemahaman matan (maksud) kalimat dan tanpa penyaringan epistemologis.
“Misalnya hadis ‘man baddala dinahu faqtuluhu’ (barang siapa yang murtad, maka bunuhlah ia) tanpa menjelaskan bahwa hadis itu memiliki konteks politik dan yudisial tertentu, tidak bisa serta merta diterapkan dalam ruang publik modern yang menjunjung hak asasi manusia,” kata Prof. Tasmin.
Guru besar ini memandang perlunya mengembangkan pusat kajian ‘fiqh al-hadis’ dan moderasi keberagamaan yang berbasis riset transdisipliner dan berorientasi pada penguatan literasi keagamaan publik. Hal ini juga selaras dengan misi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) untuk menjadi penjaga nilai kesilaman yang ‘rahmatan lil alamin’ di tengah masyarakat yang plural.
“Saya juga berharap kepada mahasiswa, peneliti, dan para dai muda agar tidak berhenti pada pengulangan narasi keislaman plastik, tetapi berani melakukan rekonstekstualisasi dan rekonstruksi hadis dengan semangat etis, inklusif, dan bertanggung jawab secara metodologis,” kunci Prof. Tasmin Tangngareng. (mda).