Prof. Drs. H.Hamdan Juhanis, M.A., Ph.D Guru Besar Pengetahuan vs Guru Besar Kebijaksanaan

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Prof. Drs.Hamdan Juhanis, M.A.,Ph.D. punya cara yang menarik jika ada acara pengukuhan jabatan guru besar di UIN Alauddin yang dipimpinnya. Pada awalnya dia akan merespons secara singkat isi orasi para guru besar baru. Setelah itu menawarkan satu perenungan buat para guru besar. Terakhir, semacam serba-serbi-lah dari para guru besar. Namun kali ini, penulis menawarkan satu aspek yaitu berkaitan dengan satu perenungan.

“Ini khusus untuk seluruh guru besar, termasuk tiga guru besar baru, dan juga saya sebagai guru besar,” ujar Prof. Hamdan Juhanis yang memimpin UIN terbesar kedua memiliki guru besar di Indonesia, setelah yang pertama UIN Jakarta itu, saat pengukuhan jabatan tiga guru besar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin, Rabu (20/8/2025). Ketiganya masing-masing Prof.Dr.Hj. Darmawati H.M.HI, Prof.Dr. Tasmin Tangngareng, M.Ag., dan Prof.Dr. Abdullah Abd.Thalib, S.Ag., M.Ag.

Perenungan dari momentum pengukuhan guru besar kali ini sangat menginspirasi. Para guru besar, lebih khusus lagi kepada ketiga guru besar yang dikukuhkan, termasuk Hamdan Juhanis sebagai guru besar. Ketiga guru besar, kata Hamdan Juhanis, ketika kita sudah menjadi guru besar, maka kita bergeser bukan sekadar guru ilmu pengetahuan, melainkan kita harus menjadi guru kebijaksanaan. Prof. Abdullah mengatakan, guru cinta. Prof. Tasmin menyebutnya guru moderat. Prof. Darmawati mentakan, guru sakinah. Itu adalah pengejawantahan guru kebijaksanaan.

Menjadi guru besar kebijaksanaan, berbeda dengan guru pengetahuan pada ketiga guru besar. Kalau guru pengetahuan hanya menyampaikan pengetahuan yang banyak, sementara guru kebijaksanaan dia tahu kapan dan bagaimana menyampaikan apakah pengetahuan itu perlu disampaikan. Itu adalah guru kebijaksanaan.

Ketiga guru besar berkaitan dengan guru kebijaksanaan ini, Hamdan Juhanis pun membentangkan sebuah ilustrasi.
“Dalam sebuah kereta -- saya baru saja menyampaikan cerita ini di sebuah forum -- duduk berhadapan seorang profesor, guru besar, dengan seorang yang lain. Duduk berhadapan, pada saat kereta yang sedang berjalan.

Baca juga :  Aksi Bersih-bersih se-Dunia Kembali Digelar di Kabupaten Sinjai

“Dari mana ki, Pak?,” tanya Profesor itu setelah mengamati orang yang di depannya duduk diam dan ingin memecahkan kebuntuan. Orang tersebut pun menjawab sekenanya.
“Apa kegiatan ta?,” usut sang Profesor lagi.
“Saya hanya pekerja kebun,” jawab orang yang di depan sang Profesor.
“Kerja kebunnya orang?,” sang Profesor mengusut.
“Bukan, kebun sendiri!,” balas orang di depan Profesor.
“Bapak, saya sebagai guru besar,” kata sang Profesor menjelaskan perihal dirinya.
“Luar biasa,” kata pekebun itu kagum.
Sambil menikmati perjalanan kereta, Profesor itu pun mengajak ‘sahabat’-nya itu main tebak-tebakan tentang ilmu pengetahuan.
“Jangan mi, Pak!. Saya hanya tukang kebun, Bapak, Profesor. Tidak mungkin saya melawan tebak-tebakan Bapak,” jawab tukang kebun itu merendah.
“Tidak apa-apa. Kita coba,” kata Profesor, lalu mengatakan,” kalau Bapak tidak menjawab pertanyaan saya, Bapak kasih saya Rp 100 ribu. Lalu bapak bertanya kepada saya dan saya tidak bisa menjawab, saya kasih 1 juta”.
“Boleh juga, Pak!,” jawab tukang kebun itu terlihat pasrah.
“Pertanyaan saya kepada Bapak, berapa kilometer jarak dari bumi ke bulan?,” tanya sang Profesor.
“Tidak tahu ka, Pak,” jawab pekebun serta merta dan tanpa pikir sama sekali.
Lalu Profesor itu minta Rp 100 ribu. Dikasihlah 100 ribu,
“Berapa memang jaraknya, Pak,” pekebun itu kembali bertanya.
“384.400 km!,” jawab si Profesor membuat pekebun itu terdiam. Luar biasa. Lalu Profesor itu mengatakan, “Bapak lagi yang bertanya kepada saya”.
“Binatang apakah itu kalau dia mendaki kakinya tiga dan kalau turun dari pendakian, kakinya menjadi empat,” tanya tukang kebun itu setelah lama juga berpikir.
Setelah lama tidak mendengar jawaban sang Profesor karena tidak menemukan jawaban, tukang kebun itu langsung meminta 1 juta.
“Saya penasaran, binatang apakah yang dimaksud?,” Profesor balik bertanya setelah membayar kepada tukang kebun 1 juta.

Baca juga :  Kapolsek Wajo Tatap Muka Dengan Masyarakat Kelurahan Melayu Baru

“Maaf, saya juga tidak tahu!,” jawab tukang kebun setelah pura-pura lama berpikir dan pekebun itu menyerahkan 100 ribu.
Jadi Profesor kalah 800 ribu. Inilah contoh, guru besar yang bukan guru kebijaksanaan. Dia sangat mengandalkan dirinya, kehebatannya. Dia tidak hanya kehilangan 800 ribu, tetapi juga kehilangan jati dirinya terhadap seorang tukang kebun. Prof. Darmawati, Prof. Tasmin, dan Prof. Abdullah, janganlah seperti itu!
Hamdan Juhanis agaknya sudah mempersiapkan alat peraga yang dia gunakan untuk memberikan analogi filosofis yang diamanahkannya kepada para guru besar. Sebatang pensil pernah menjadi alat tulis utama para anak didik pada masa yang lalu. Pensil, ujungnya dipakai menulis. Menulis kehidupan. Kalau ada yang salah, kita balik, kita hapus yang salah. Inilah hidup. Hidup sejatinya seperti pensil.

Tiba-tiba kita salah dan gagal. Kita patahkan pensil itu menjadi dua. Tetapi ternyata sebagai guru kebijaksanaan, di tengah kepatahan dan kejatuhan itu, begitu banyak peluang yang bisa tercipta. Apa yang dilakukan? Suasana hening, tak seorang pun dari ketiga guru besar baru memberi solusi. Kata Hamdan Junanis, di ujung-ujung yang patah itu ada kita dapat ‘belajar’. Dia mengambil alat peraut pensil (pakoro, bahasa daerah). Akhirnya, saya memiliki tiga ujung yang bisa dipakai untuk menuliskan kehidupan yang tadinya sudah patah. Kita semua melakukan ini karena waktu kecil pernah menulis menggunakan pensil. Dan, sama, kita menghapusnya begitu mudah. Makanya, ketika masih kecil itu hidup itu terasa indah. Mengapa kesalahan-kesalahan itu begitu mudah terhapus. Kesalahan yang kita buat saat menjadi dewasa adalah menulis memakai pulpen, sehingga jika tulisan itu salah, tidak bisa terhapus.

“Maka kepada ketiga guru besar ini mari kita kembali menulis dengan pensil,” ajak Prof. Hamdan Juhanis, terdengar bercanda disahuti tepuk tangan yang hadir, namun secara filosofis memiliki makna terdalam. (mda).

Baca juga :  Pemkot Makassar Ikut Expo Pengawasan Intern 2024 BPKP

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Semangat Kemerdekaan ke-80, Momentum Perkuat Budaya K3 di Indonesia

PEDOMANRAKYAT, JAKARTA – Memasuki usia ke-80 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, semangat perjuangan para pahlawan bangsa menjadi inspirasi untuk...

PT Mega Ultra Ekspor Wakili Kabupaten Luwu di Rewako Ekspor 2 Makassar

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Bank Indonesia (BI) kembali menyelenggarakan kegiatan Rewako Ekspor 2 di Kota Makassar pada tanggal 20–23 Agustus...

Polsek Biringkanaya Adakan Kegiatan Jum’at Berkah

PEDOMAN RAKYAT, Makassar - Di awal kepemimpinan, AKP Andik Wahyu Chahyono selaku Kapolsek Biringkanaya langsung mengadakan kegiatan Jum'at...

Polres Pelabuhan Makassar Jaga Harkamtibmas Laut dengan Patroli KYRD

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Personel Satuan Polisi Perairan dan Udara (Satpolairud) Polres Pelabuhan Makassar kembali menggelar Kegiatan Rutin yang...