PEDOMANRAKYAT, BULUKUMBA - Di tanah ini, kemerdekaan terlalu sering dijadikan pesta para elit. Desa hanya dijadikan penonton, ditaburi amplop untuk bungkam, dijanjikan pembangunan yang tak pernah datang, kesejahteraan yang tinggal mimpi, demokrasi yang sekadar topeng. Janji-janji itu bukan untuk ditepati, melainkan untuk menghisap, mengikat rakyat kecil agar tetap tunduk di bawah bendera Republik Mafia.
Muh. Alif Dermawan, ketua umum, menegaskan: “Desa tanpa solusi adalah potret pengkhianatan.”
Bontonyeleng menjadi saksi: petani dan buruh hanya meraih remah-remah dari meja kemerdekaan. Parade bendera dan musik hanyalah gincu di wajah luka: hak mereka dirampas, akses dijual, dana desa dikorup.
Kemerdekaan ini, kata mereka, milik rakyat. Tetapi kenyataannya: rakyat dipaksa diam, dipaksa patuh, sementara penguasa tidur di atas kegoblokan sendiri. Tangan rakyat terikat hutang, keadilan dirampas, janji dikhianati. Fasisme berusaha membunuh suara mereka.
Namun dari kepahitan itu lahirlah tekad: merdeka tidak datang dari atas, tapi tumbuh dari bawah. Dari tanah, dari akar, dari keberanian pemuda desa yang tak rela lagi dibungkam.
“Kemerdekaan bukan hadiah negara,” tegas Aedil. “Ia bukan barang obral untuk kekuasaan. Kemerdekaan sejati adalah perlawanan, penolakan terhadap simbol kosong, pembebasan dari penindasan. Kami menolak tunduk. Kami menolak diam. Kami menolak mengikuti pemerintah yang goblok.”
Dan ketika pesta kemerdekaan berakhir, ketika bunyi-bunyian berhenti, yang tersisa hanyalah suara rakyat: Sadda Maradeka! Bukan janji pemerintah, melainkan nyanyian dari perut bumi desa, alunan gambus yang lahir dari penderitaan, dari keberanian, dari darah dan tekad untuk bebas.
Terima untuk semua yang terlibat dalam Merespon Agustus: Sebab Seni Juga Merdeka. Sampai jumpa di Maradeka selanjutnya.
( Musakkir Basri )