“Bayangkan kalau ahli waris diam saja, bisa-bisa seluruh lahan berpindah kepemilikan begitu saja. Inilah mengapa kami segera melangkah ke jalur hukum, baik pidana maupun perdata,” kata Asywar.
Saat ini, selain laporan pidana dan pemblokiran sertifikat, tim hukum juga tengah menyiapkan gugatan perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH) di pengadilan.
Asywar menilai kasus ini tidak bisa dipandang sekadar sengketa kepemilikan tanah, melainkan masuk kategori praktik mafia tanah. Ia menduga ada keterlibatan oknum aparat di tingkat bawah yang meloloskan dokumen bermasalah.
“Kami mendesak aparat penegak hukum agar tidak main mata dengan mafia tanah. Ini bukan hanya tentang hak keluarga Paraki, tapi menyangkut keadilan bagi rakyat kecil yang kerap jadi korban permainan kotor. Kalau praktik seperti ini dibiarkan, akan semakin banyak keluarga yang kehilangan haknya,” tandasnya.
Kasus yang menimpa keluarga Paraki menambah daftar panjang persoalan mafia tanah di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, Presiden Joko Widodo bahkan berulang kali menegaskan bahwa mafia tanah harus diberantas karena merugikan masyarakat kecil dan menurunkan kepercayaan publik terhadap negara.
Berbagai modus digunakan para mafia tanah, mulai dari penerbitan dokumen palsu, pemalsuan AJB, hingga memanfaatkan kelemahan administrasi di tingkat desa, kecamatan, maupun instansi pertanahan. Tidak jarang, kasus ini juga melibatkan oknum aparat yang justru memiliki kewenangan mengawasi administrasi.
Kini, publik menunggu keseriusan aparat penegak hukum dalam menangani kasus dugaan pemalsuan sertifikat tanah ahli waris Paraki. Apakah kasus ini akan menjadi pintu masuk untuk membongkar jaringan mafia tanah di Sulawesi Selatan, atau hanya akan berakhir sebagai sengketa perdata yang berlarut-larut. (*/And)