Lebih lanjut, ia menyoroti peran sekolah alternatif sebagai ruang kolaborasi literasi yang tidak terbatas pada ruang kelas formal. Literasi, menurutnya, dapat tumbuh melalui berbagai medium seperti cerita lokal dalam buku, musik, film, teater, hingga pantomim—semuanya dapat diakses dan dicerna oleh masyarakat luas.
Diskusi ditutup dengan refleksi penting: “keadilan literasi bukan semata distribusi akses, melainkan kecerdasan dalam memahami ruang demokrasi. Literasi, dengan demikian, hadir sebagai instrumen pemberdayaan sosial sekaligus peneguhan identitas kultural, tutup Sakkir sebagai teman tutur.
( Musakkir Basri )