Oleh: Muliadi Saleh
Di sebuah lembah yang hijau, di antara genangan air yang berkilau diterpa matahari, sebutir padi lahir dari rahim bumi. Ia kecil, nyaris tak terlihat, namun menyimpan harapan kehidupan. Dipeluk tanah yang gembur, ditimang lembut oleh air yang mengalir, sebutir padi tumbuh bersama sahabat setianya: petani.
Petani itu hadir setiap pagi dengan mata yang penuh doa. Tangan kasarnya mengusap dedaunan muda, menyingkirkan gulma, mengusir hama, bahkan terkadang berbicara lirih pada tanaman-tanaman itu, seolah bisa mendengar. “Tumbuhlah dengan baik,” bisiknya. Dan padi, dengan kesederhanaannya, menjawab dalam diam: iya, terima kasih.
Hari demi hari, ia belajar merunduk. Ketika bulir-bulirnya makin penuh, ia menunduk lebih rendah, seperti ingin memberi pelajaran pada manusia: semakin berisi, semakin rendah hati.
Namun tibalah saat yang tak bisa ditunda. Angin berbisik bahwa ia harus meninggalkan rahim tanah, harus berpisah dari lumpur yang membesarkannya. Hati kecil sebutir padi menolak, sebab ia merasa nyaman dalam dekap bumi. Tapi kehidupan selalu menuntut perpisahan. Sabit petani menyentuh tubuhnya, memutus ikatan panjang dengan tanah yang selama ini menjadi rumah. Ia pun diangkat, dijemur di bawah terik matahari, berbaring di hamparan tikar pandan bersama ribuan bulir lain.
Dalam panas yang membakar kulit tipisnya, ia belajar arti pengorbanan. Panas itu bukan siksaan, melainkan penghangat tubuhnya sebelum ia menjalani perjalanan panjang berikutnya. Dari situ, ia bergerak menuju ruang penggilingan—sebuah tempat yang penuh suara dentuman, di mana tubuhnya dipisahkan dari kulit keras yang melindunginya.
Di penggilingan itulah, perpisahan lain terjadi. Ia teringat sahabat-sahabatnya: ada yang berjalan di jalan premium, putih bersih, mengilap, disanjung di rak-rak toko. Ada pula yang menempuh jalan sederhana, menjadi beras biasa, tak begitu dipuja tapi tetap bermakna. Jalan hidup memang berbeda, perlakuan bisa tak sama. Ada yang dipoles hingga sempurna, ada yang dibiarkan dengan jejak kealamian. Tapi pada hakikatnya, mereka tetap sama: beras.
Sebutir beras tak pernah bisa memilih takdirnya. Namun ia yakin, semua akan bertemu di ujung perjalanan—di meja makan. Di sanalah, perbedaan itu melebur. Tak ada lagi yang disebut premium atau biasa. Semuanya berubah menjadi nasi yang mengenyangkan, yang mengalirkan energi dalam tubuh manusia, yang menjadi penopang kehidupan.
Lalu ia teringat petani. Sosok bersahaja yang rela berkeringat demi satu butir beras bisa hadir di meja makan. Petani bukan sekadar sahabat, ia adalah bagian dari perjalanan itu sendiri. Jika beras adalah energi, maka petani adalah jiwa yang menyiramkan kasih sayang pada energi itu.
Bayangkan sejenak: ketika sendok nasi kita suapkan ke mulut, sebenarnya kita sedang menyantap cerita panjang. Ada kisah air yang mengalir di pematang. Ada jejak lumpur di kaki petani. Ada nyanyian jangkrik dan desau angin yang menemani padi bertumbuh. Ada panas matahari dan dinginnya malam sawah yang memeluk. Semua itu melebur menjadi nasi, menjadi tenaga yang membuat kita bisa berlari, bekerja, dan bermimpi.
Sebutir beras adalah cermin kehidupan. Ia mengajarkan kita tentang kerendahan hati, tentang perpisahan yang tak terelakkan, tentang keberanian menempuh jalan berbeda, dan tentang kesetiaan pada tujuan akhir. Tak peduli bagaimana perlakuan yang diterima, akhirnya ia sampai juga di meja makan, memberi kehidupan kepada manusia.
Di meja makan, beras tidak lagi bercerita tentang dirinya. Ia sudah rela melebur, berubah menjadi nasi, menghilang dalam tubuh kita. Tapi bukankah itu makna sejati dari pengabdian? Memberi tanpa menuntut, hadir tanpa harus dikenal, menyatu dalam kehidupan manusia tanpa menyisakan tanda tanya.
Dan kita, manusia, yang setiap hari menyuapkan nasi ke dalam mulut, seharusnya tak pernah lupa: di balik sebutir beras, ada pelukan bumi, ada timangan air, ada sahabat bernama petani. Mereka semua adalah bagian dari hidup kita.
Sebutir beras adalah doa yang menjadi nyata. Dari tanah ia lahir, dalam keringat petani ia tumbuh, di meja makan ia menjadi kehidupan. Lalu dalam tubuh kita, ia berubah menjadi energi untuk menanam kembali kehidupan. Siklus itu terus berulang, sebagaimana bumi yang tak pernah letih memberi.
Maka, setiap kali kita menatap sepiring nasi, semestinya kita berbisik lirih: terima kasih. Kepada benih yang menjadi awal. Kepada tanah yang memeluk. Kepada air yang menimang. Kepada udara yang menghidupkan. Kepada matahari yang menguatkan. Kepada petani yang setia. Kepada pedagang yang mengantarkan. Kepada ibu-ibu yang menanam dengan kasih dan menyiapkan dengan cinta. Semua mereka hadir dalam nasi yang kita santap.
Dan pada akhirnya, nasi di meja makan bukan sekadar makanan, melainkan keberkahan yang dirajut bersama.
Doa itu pun berbisik dalam hati kita:
“Ya Allah, berkahilah rezeki yang Engkau hidangkan di hadapan kami ini. Di dalam sebutir nasi ini ada jasa benih yang Kau hidupkan, tanah yang Kau suburkan, air yang Kau alirkan, udara yang Kau tebarkan, matahari yang Kau pancarkan, petani yang Kau teguhkan, pedagang yang Kau gerakkan, dan ibu-ibu yang Kau titipkan cinta. Jadikanlah nasi yang kami santap ini sumber tenaga untuk beribadah, berkarya, dan berbagi kehidupan. Jangan biarkan ada yang lapar di bumi-Mu karena kelalaian kami. Sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi Rezeki lagi Maha Penyayang.” (***)