Pada tanggal 22 November 2018 – setelah dua kali ditunda – satu tim berkekuatan tujuh orang terbang ke Palu. Selain Prof. Husni dan saya, di dalam tim ada Nursyamsu Sultan, Mappigau Samma, Syahrir Tadjuddin (jamaah Masjid Nurul Ilmi Kompleks Gubernur), dr. Yusuf Bahmid, Sp.M. (terapis), dan Rusdiman Dewalata Dg. Sitaba (staf Prof Husni). Pada 25 November siang, bergabung pula Kak Heru, pendongeng andal yang pernah mendongeng di Korea Selatan beberapa waktu silam.
Turun dari pesawat Batik Air, tim langsung merangsek ke Madrasah Diniyah Nizanuddin yang berjejer dengan ratusan kemah pengungsi Petobo di jalan; poros Kawatuna. Dokter Yusuf Bahmid menerapi dua orang di sini, setelah salat asar. Seorang pria mualaf dari Toraja, Arwan Palayukan, terharu karena setelah diterapi sakit kepalanya lenyap.
Dari madrasah ini, tim menuju Jl. Muhammad Soeharto Petobo yang terbongkar dan terpotong akibat digoreng likuefaksi. Petobo benar-benar tercabik-cabik. Tanah turun. Jalan terpotong, saluran irigasi tertimbun. Dari atas nun jauh ke bawah, satu lapangan luas baru muncul. Di sana-sini tampak beberapa mobil dan rumah separuh fisiknya ‘tertanam” di tanah.
“Oh.. betapa dahsyatnya cobaan Tuhan di sini!,” pekik saya dalam hati sembari menggeleng kepala.
Kunjungan serupa sore itu dilakukan ke Jono Oge, yang mengalami nasib sama parahnya dengan Petobo. Kunjungan tim Medis AMDA ini memberi kesempatan emas kepada saya untuk memberi informasi dari para korban musibah ini selengkapnya. (Bersambung).