Oleh M.Dahlan Abubakar
Seminggu setelah gempa (28/9/2018) menggoncang Palu, Donggala, dan Sigi, Prof. dr. H. Andi Husni Tanra, Ph.D. Sp.An menelepon saya suatu pagi. “Di mana ko?,” terdengar suara maha guru anestesi tersebut di balik telepon. “Maaf, Prof. Saya tidak berani menelepon Prof, karena kondisinya sangat dahsyat. Saya melihat banyak orang Palu justru ingin meninggalkan daerahnya, jadi saya tidak berani menelepon Prof,” jawab saya sedikit berdiplomasi dan tahu “siap salah” karena tidak menelepon setiap saya mendengar ada gempa.
Prof, Husni selalu maklum, jika terjadi musibah banjir atau gempa, saya sering lebih dulu menelepon. Ketika banjir bandang melululantahkan Kota Bima Desember 2016 dan gempa menggoyang Pulau Lombok 28 Juli 2018, saya yang berinisiatif menelepon, sehingga Prof. Husni yang memimpin The Association of Medical Doctor of Asia (AMDA) – Asosiasi Dokter Medik Asia – Indonesia yang berpusat di Jepang tersebut mengirim tim medis ke kedua daerah tersebut.
“Ok, nanti kita ke Palu sebagai tim trauma healing (pemulihan trauma) setelah kondisinya sedikit membaik. Kita tidak bawa obat, tetapi membawa da’i dan juga bantuan dan pendongeng untuk anak-anak korban gempa,” imbuh Ketua Dewan Mahasiswa Unhas 1973-1974 yang pernah enam tahun belajar di Universitas Hiroshima Jepang tersebut sebelum menutup teleponnya.
Hingga kini, saya sudah terlibat dalam kegiatan tim medis seperti ini ketiga kali. Pertama, Desember 1992, saat gempa yang disertai tsunami menggasak Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ribuan orang menemui asalnya dan satu pulau, Pulau Babi, tenggelam dan rata dengan tanah. Pada Desember 2016, saya juga membawa Tim AMDA ke Kabupaten Bima, ketika banjir bandang menyapu bersih Kota Bima yang menyisakan potongan-potongan kayu dan menjungkirbalikkan sejumlah kendaraan hingga “salah parkir” di kolam buatan tiba-tiba. Kota Bima bagaikan tempat pembuangan akhir sampah.
Saat gempa bumi menggoyang Pulau Lombok, 26 Juli 2018, saya juga bersama satu tim AMDA dikirim ke sana. Merambah daerah Lombok Timur, tepatnya di Kecamatan Sembalun di kaki Gunung Rinjani yang digasak gempa. Tim tinggal sampai 7 Agustus 2018, sementara saya sudah di udara dan hampir mendarat di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar, di Maros, ketika Pulau Lombok 5 Agustus 2018 pukul 19.45 Wita dihantam gempa susulan yang cukup besar dengan kekuatan 7,4 pada skala richter.
Pada tanggal 22 November 2018 – setelah dua kali ditunda – satu tim berkekuatan tujuh orang terbang ke Palu. Selain Prof. Husni dan saya, di dalam tim ada Nursyamsu Sultan, Mappigau Samma, Syahrir Tadjuddin (jamaah Masjid Nurul Ilmi Kompleks Gubernur), dr. Yusuf Bahmid, Sp.M. (terapis), dan Rusdiman Dewalata Dg. Sitaba (staf Prof Husni). Pada 25 November siang, bergabung pula Kak Heru, pendongeng andal yang pernah mendongeng di Korea Selatan beberapa waktu silam.
Turun dari pesawat Batik Air, tim langsung merangsek ke Madrasah Diniyah Nizanuddin yang berjejer dengan ratusan kemah pengungsi Petobo di jalan; poros Kawatuna. Dokter Yusuf Bahmid menerapi dua orang di sini, setelah salat asar. Seorang pria mualaf dari Toraja, Arwan Palayukan, terharu karena setelah diterapi sakit kepalanya lenyap.
Dari madrasah ini, tim menuju Jl. Muhammad Soeharto Petobo yang terbongkar dan terpotong akibat digoreng likuefaksi. Petobo benar-benar tercabik-cabik. Tanah turun. Jalan terpotong, saluran irigasi tertimbun. Dari atas nun jauh ke bawah, satu lapangan luas baru muncul. Di sana-sini tampak beberapa mobil dan rumah separuh fisiknya ‘tertanam” di tanah.
“Oh.. betapa dahsyatnya cobaan Tuhan di sini!,” pekik saya dalam hati sembari menggeleng kepala.
Kunjungan serupa sore itu dilakukan ke Jono Oge, yang mengalami nasib sama parahnya dengan Petobo. Kunjungan tim Medis AMDA ini memberi kesempatan emas kepada saya untuk memberi informasi dari para korban musibah ini selengkapnya. (Bersambung).