Masjid Terapung Palu. (Foto:MDA)
Oleh M.Dahlan Abubakar
Hari kian sore, Kamis (22/11/2018) ketika rombongan kecil kami yang dipimpin Prof. dr. Andi Husni Tanra, Ph.D. Sp.An, tiba di Jono Oge, satu lokasi yang juga paling parah dihantam gempa dan likuefaksi di Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah. Kami tiba di sini, setelah menyerahkan bantuan di lokasi pengungsian, di bagian utara Kota Palu yang agak tinggi, tak jauh dari Petobo yang tanahnya bergeser tidak teratur hingga “menanam” puluhan mobil dan rumah.
Jalan berdebu ke Jono Oge. Di sisi kiri kanan rumah, pemandangan yang ada hanyalah bangunan yang rusak dan miring. Sore itu suasana arus lalu lintas sangat padat. Terutama kendaraan jenis sepeda motor. Ternyata mereka itu, kebanyakan ke dan dari ujung jalan di Jono Oge. Mereka bagaikan wisatawan domestik yang pergi menyaksikan tanah lapang yang terhampar luas, sisa-sisa keganasan gempa dan likuefaksi. Hanya ada beberapa pohon kelapa yang “bandel” tegak di sana yang rupanya terhenti “perjalanan”-nya setelah dihanyutkan tanah yang bergerak. Di sela-sela pohon kelapa dan reruntuhan itulah warga melintas menggunakan sepeda motor menuju bagian lain Jono Oge yang berantakan.
Sebelum memasuki jalan aspal yang retak-retak, sebuah jalan sempit, karena orang-orang di sekitar itu memasangi penghalang. Di tengah tempat orang lewat ada kotak amal. Infak pembangunan masjid. Seorang pria baya duduk menyaksikan orang lalu lalang. Tidak ada juga suaranya berharap orang yang melintas mau menyumbang.
Se-ikhlasnya saja.
Di ujung sana, aspal putus, tepat di sebelah saluran irigasi besar. Sejauh mata memandang, hanya tanah kosong belaka yang tampak. Di tengah, ada empat atau lima pohon kelapa yang juga pindahan dari tempat lain, masih tegak gagah. Di sebelah sana, tampak samar-samar sebuah rumah berwarna biru. Rumah itu pun “pendatang misterius”. Bukan penghuni tanah itu di tempatnya sekarang. Ya, sama dengan pohoh kelapa. Yang kami pandang dari ujung jalan aspal yang putus itu, barulah separuh dari keseluruhan lahan yang bergerak. Meninggalkan pemandangan tanah kosong tanpa “penghuni”, baik rumah maupun pohon-pohon. Kecuali sebuah rumah cat biru dan empat pohon kelapa itu.
“Tanah bergelombang. Ke lokasi ini jalan yang sudah putus. Jalan raya yang hilang. Di depan sana, jalan sudah habis. Di seberang ada rumah sakit,” kata dr.Faridnam, Sp.An, alumni Fakultas Kedokteran Unhas 1994 yang bersama rombongan kami bertandang ke bagian wilayah Sulawesi Tengah yang diterjang musibah ini.
Kelapa yang pindah dan masih tegak, dari atas, entah siapa yang punya. Yang lucu, ada yang panen di sana, kemudian datang likuefaksi, giliran yang lain yang panen ini pindah dengan tanahnya. Di dekat ujung jalan yang putus ada tertulis “Dilarang ambil gambar”. Entah siapa dan apa maksudnya papan bicara itu.
Ada rumah yang masih sangsi ditempati, meski kondisinya masih layak huni. Melewati pompa bensin yang terbelah dan orang menimba bensin ketika musibah terjadi. Untung tidak ada yang merokok. Bangunan SPBU itu miring tidak beraturan. Ada juga dua bangunan ATM ‘kompak” dalam kondisi miring. Konon, saat gempa, uang yang ada di perut brankas ATM, terbongkar. Orang yang tidak kuat imannya meskipun dalam keadaan darurat langsung saja memungutnya.