Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 3: setiap orang berhak atas hidup, kebebasan, dan keselamatan dirinya.
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 6, yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005: Hak hidup dilindungi hukum, dan negara wajib menjamin perlindungan efektif terhadap nyawa warganya.
UN Principles on the Effective Prevention and Investigation of Extra-legal, Arbitrary and Summary Executions (1989): negara wajib melakukan penyelidikan cepat, menyeluruh, independen, dan efektif atas setiap kematian yang mencurigakan.
UNESCO’s Safe Campus Guidelines: menegaskan bahwa institusi pendidikan adalah ruang aman, bebas dari kekerasan, diskriminasi, dan ancaman terhadap kehidupan mahasiswa.
Dengan pijakan internasional ini, jelaslah: bukan hanya polisi, tetapi juga negara secara keseluruhan bisa dimintai pertanggungjawaban bila gagal melindungi nyawa mahasiswa di ruang akademik.
Presisi yang Tersandera
Polri di era ini berjanji dengan jargon Presisi—Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan. Tapi apa arti jargon jika hanya berhenti pada baliho dan pidato?
Prediktif seharusnya membuat penyidik sadar, lambannya penanganan akan melahirkan ketidakpercayaan publik.
Responsibilitas mestinya mendorong polisi bertindak cepat, bukan sekadar menuliskan SP2HP berulang kali.
Transparansi Berkeadilan semestinya membuat siapa pun yang lalai—baik panitia kecil maupun pejabat kampus—diperiksa dengan standar yang sama.
Namun di Sulawesi Selatan, presisi tampak seperti sandera. Terikat birokrasi, tersandera rasa takut, atau mungkin tunduk pada bayang-bayang kekuasaan kampus.
Virendy sudah pergi. Namanya kini jadi penanda luka: Luka karena nyawa begitu murah, tanda tanya karena keadilan berjalan tertatih, harapan karena masih ada ayah yang tak lelah berjuang.
Jika polisi berani, jika kampus jujur, maka Virendy tidak mati sia-sia. Tapi bila presisi terus dipelihara sebatas retorika, sejarah akan menulis: Di Kampus Merah, darah mahasiswa pernah tumpah sia-sia—sementara yang berwenang memilih bungkam di balik meja kekuasaan. (***)
Tentang Penulis: Muhammad Sirul Haq, SH adalah seorang advokat dan aktivis bantuan hukum yang cukup vokal di Makassar, terutama terkait masalah tanah, waris, dokumentasi kepemilikan lahan, dan pengawasan aparat penegak hukum terhadap prosedur. Ia memimpin organisasi bantuan hukum (LKBH Makassar). Advokat dan konsultan hukum, Pengacara Makassar Indonesia dengan pengalaman dalam litigasi perdata, pidana, agraria, dan hukum administrasi negara. Pimpinan kantor hukum Muhammad Sirul Haq, SH & Rekan, aktif mendampingi masyarakat pencari keadilan, khususnya dalam sengketa pertanahan, korban pelanggaran HAM, dan advokasi kebijakan publik serta lingkungan. Ketua API – Advokat Pengadaan Indonesia. No.HP: 085340100081.