Oleh: Muhammad Sirul Haq SH, C.NSP, C.CL
Direktur LKBH Makassar,
Advokat dan Konsultan Hukum, Ketua API (Advokat Pengadaan Indonesia)
Di sebuah ruang kuliah yang mestinya berisi gema ilmu dan persaudaraan, justru terhampar kabar duka. Virendy, mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (Unhas), tak pernah pulang dari kegiatan yang disebut pembinaan.
Seorang anak muda, yang semestinya tumbuh menjadi insinyur bangsa, justru tumbang di tanah kampus yang konon menjunjung tinggi intelektualitas.
Ayahnya, dengan map lusuh berisi dokumen hukum, kini menapak lorong-lorong keadilan yang dingin. Dari ruang sidik hingga ruang sidang, ia terus mengetuk pintu.
Baginya, keadilan bukan sekadar kata dalam pidato, melainkan nyawa anaknya yang telah direnggut. Namun di hadapannya, presisi Polri yang digembar-gemborkan justru tampak seperti bayangan senja: indah di layar, rapuh ketika disentuh.
“Jangan hanya mahasiswa pelaksana yang diseret. Mereka hanya bidak kecil. Di atas mereka ada pemberi izin, ada pejabat kampus yang menutup mata,” ucap sang ayah lirih, sembari menggenggam SP2HP yang tak membawa kabar baru.
Pengadilan Negeri Maros telah memberi vonis. Dua mahasiswa dipenjara karena kelalaian. Tetapi publik tahu, keadilan tak boleh berhenti di sana. Apakah rektor dan dekan yang memberi restu kegiatan bebas dari tanggung jawab? Apakah kampus boleh mencuci tangan, membiarkan mahasiswa menanggung seluruh beban dosa?
Dalam SP2HP Polda Sulsel tertanggal 29 Juli 2025, tertulis kalimat yang membeku: “Penyidik masih melakukan pemeriksaan saksi serta akan melakukan gelar perkara apabila penyelidikan dinyatakan lengkap.” Kata-kata yang seolah mengulur waktu, padahal luka keluarga korban makin menganga.
Jejak Hukum yang Terlupakan
Hukum kita sudah jelas. Pasal 359 KUHP menjerat siapa saja yang lalai hingga nyawa melayang. Kelalaian bukan hanya soal tangan yang menampar atau kaki yang menendang, melainkan juga kelalaian pejabat yang membiarkan kegiatan tanpa pengawasan.
Literatur hukum mengajarkan asas culpa in vigilando (kelalaian mengawasi) dan culpa in eligendo (kelalaian menunjuk). Kedua asas ini menegaskan bahwa pejabat universitas yang lalai tidak dapat berlindung di balik toga akademik.
Dalam Yurisprudensi MA No. 1554 K/Pid/1991, hakim menegaskan bahwa pertanggungjawaban pidana dapat melekat pada mereka yang membiarkan perbuatan terjadi di bawah kewenangannya. Bahkan Putusan PN Sleman No. 26/Pid.B/2013 menghukum pejabat sekolah karena lalai mengawasi kegiatan ekstrakurikuler yang berujung kematian.
Seperti ditulis dalam Jurnal Hukum & Pembangunan UI (2019):
“Pertanggungjawaban pidana institusi pendidikan bukan sekadar fiksi hukum. Ia nyata ketika pejabat universitas membiarkan praktik berbahaya berulang dalam ruang yang mestinya steril dari kekerasan.”
Keadilan dalam Cermin Internasional
Kasus Virendy tidak hanya soal hukum nasional. Dunia pun memiliki standar: