Agus, warga Perumnas Balaroa Palu Barat dan sisa bangunan rumah yang rata. (Swafoto MDA).
Oleh M.Dahlan Abubakar
Hari masih agak pagi 23 November 2018, ketika tim AMDA Indonesia menyambangi Balaroa, sebuah lokasi yang paling parah “digoreng” gempa dan likuefaksi. Di pinggir atas bekas bangunan perumahan Perumnas Balaroa, yang tampak hanya tanah kosong. Di sini bukan tidak ada bangunan. Gempa dan likuefaksi 28 September 2018 magrib itu, telah mengubah pemandangan ini menjadi lahan kosong.
Bumi bergoyang disusul tanah terbelah bertepatan dengan Agus sedang menunaikan salat magrib. Dia tidak dapat meninggalkan rumah karena dalam keadaan kosong. Istrinya, Sakinah, 49, sedang mengikuti arisan keluarga. Anak-anak pergi semua. Agus menunaikan salat di ruang tamu, menjelang musibah terjadi. Goyang mulai pelan-pelan, lama-lama Agus terpental. Terlempar ke dinding, Agus tidak bisa bangun.
Tanah terbuka, dia ikut tersedot ke dalamnya. Tidak dapat bangun lagi. Ternyata tanah itu naik lagi. Naiknya malah sampai ke bubungan seng rumah. Setelah sampai di atap, Agus menjebol seng untuk mencari jalan keluar. Ternyata dia hanya bisa bergantung pada kayu sandaran atap. Tanah sudah turun, ketika dia mendengar suara gemuruh menyusul. Tanah mulai berombak dan bergelombang, terbelah dan bergerak. Bumi bergerak, rumah Agus pun bergeser. Lalu tempat tinggalnya itu pun terlibat tabrakan beruntun dengan rumah lain. Bagaikan mobil saling tabrak tak terkendali di jalan bebas hambatan. Rumah sudah baku pindah tempat. Oh…sadis dan ngerinya.
“Dari jalan di sini pindah ke sebelah sana. Di Balaroa ini tanah kering dan paling tinggi sudah. Sebelah sana lebih parah lagi. Tanah sudah “bagunung” (bergunung) semua ke sana,” kata Agus yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang sembari menunjuk ke arah hamparan tanah kosong yang bagaikan lapangan di Balaroa kepada saya. “Bahkan di bekas ledakan masih segini itu air,” ucapnya sembari memberi contoh dengan menunjuk pinggangnya.
Saat kami berkunjung, Agus masih menjaga istrinya di Rumah Sakit Bhayangkara Palu. Dia harus dirujuk ke Makassar. Kedua kaki dan tangannya itu hangus terbakar dan tertindis tiang listrik.
Yang dua kaki, dan tangan kanannya diamputasi akibat terbakar. Anaknya empat orang hangus. Namun Agus, 45, masih bersyukur, karena dapat menolong dua anak kecil dengan ibu-ibu. Anak sendiri tidak tertolong. Itu pun delapan hari baru ditemukan, setelah api padam.
Di Balaroa, kita melihat bendera putih berkibar. Agus menyebut, itu tanda bahwa di bawahnya diperkirakan masih ada mayat yang belum ditemukan. Yang pasti, mayat pemilik bangunan di situ hingga kini tidak diketahui rimbanya. Mayat itu belum diambil dengan rumah-rumahnya tenggelam.
Termasuk di sana, ada rumah seorang haji. Dia sudah tiga kali naik haji dan tiga kali juga kawin. Semua orang di Perumnas Balaroa, termasuk pegawai kantor, tahu. Lantaran amalnya kurang baik dengan orang, kasih jalan-jalankan (gandakan) uang, rumahnya pun dijungkir balik. Itu kekuasaan Allah. Itu Allah punya kekuasaan. Dia putar isi rumah ke dalam tanah. Fondasi rumah di atas. Dia balik. Dia putar. Dia kasih jalan-jalan uang, dikasih putar rumahnya.
Habis keseluruhannya. Tiga puluh tahun Agus tinggal di Balaroa, tidak ada apa-apa yang terselamatkan. Hanya duka dan sisa-sisa puing itu yang dia dapatkan. Biar mobil juga tidak tahu di mana bangkainya.
Anak-anaknya semua tewas dipanggang api. Anak empat, cucu tiga, dan keponakan, berikut istri yang luka parah. Anak sulung Agus dengan anaknya tidak tertolong. Kini Agus hidup bagaikan dua sejoli dalam balutan duka yang mendalam tanpa anak. Anak kandungnya yang terakhir, sudah duduk di kelas 6 SD.
Penduduk Kelurahan Balaroa Kecamatan Palu Barat ini, 24.000 jiwa di luar pendatang. Termasuk tiga belas TPS yang berhak memilih saat pemilu. Balaroa adalah perumahan BTN pertama di Palu.
Perumnas Balaroa ini termasuk kawasan permukiman yang sangat ramai. Selain bangunan seragam Perumnas, juga ada rumah yang kecil-kecil. Konon kabarnya tersiar berita, banyak juga orang penting di Palu punya..ah.. di permukiman ini. Lain ceritanya dengan yang di Petobo, yang dikenal sebagai daerah perjudian.
“Satu padepokan, rupanya,” kata salah seorang warga Palu. Gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi ini seperti meminta korban yang selektif. Meskipun bangunan di beberapa bagian Kota Palu juga merasakan gempa, kerusakannya tidak separah yang di dekat pantai, Balaroa, Petobo, Jono Oge, dan Sibalaya di Kabupaten Sigi. Tuhan agaknya sangat adil dan selektif memilih hamba-Nya yang layak dapat murka.
Korban yang di pantai tak terhitung. Masjid terapung di depan kota Palu, miring diterjang tsunami. Kini tempat ibadah itu jadi sarang binatang laut. Pada saat air pasang, tubuh masjid hampir separuh tenggelam ke dalam air.
Kapal Sabuk Nusantara di Pelabuhan Pantoloan Donggala parkir di antara dua bangunan. Untung kapal itu sudah “dilautkan” kembali dan melanjutkan tugasnya mengantarpulaukan penumpang dan barang. Untung juga saat “mendarat”, Sabuk Nusantara 39 tidak oleng dan miring. Kalau saja miring kiri atau kanan, bangunan di sampingnya jadi korban baru pascatsunami. Mujur, kapal PT Pelni ini tetap tegak, sehingga tidak menimpa bangunan di kiri atau kanannya. Semula saya kira Sabuk Nusantara 39 akan jadi monumen tsunami. Belakangan saya tahu, kapal tersebut sudah kembali ke “habitat”-nya. (Bersambung).