Penyerahan bantuan untuk masjid di Palu. (Foto:MDA).
Oleh M.Dahlan Abubakar
Setelah meninjau Sibalaya Selatan dan Perumnas Balaroa (korban likuefaksi) (23/11/2018), kami menyusuri masjid terapung, Pantai Talise, hingga ke Pelabuhan Pantaloan, dan Pelabuhan Wani, tempat KM Sabuk Nusantara 39 terpaksa “mendarat” di ujung jalan raya. Sore hari Ahad (25/11/2018) Kak Heru mulai menghibur anak-anak sekolah Minggu di Jono Oge.
Di bawah tenda yang dijadikan sebagai tempat beribadah umat Kristen di samping Gereja Bala Keselamatan Korps I Jono Oge yang retak, Kak Heru, sang pendongeng mulai beraksi. Sekitar 50 murid Sekolah Minggu didampingi para ibu mereka menyesaki bangku-bangku di bawah tenda. “Kak Heru ganteng atau jelek?,” Kak Heru mulai “berulah” dengan melemparkan pertanyaan.
“Jeleeeek,” teriak anak-anak serentak. Teriakan serupa juga terulang pada dua sekolah kemudian, tempat Kak Heru juga mendongeng. Mereka terhibur, melupakan jejak trauma dan ancaman gempa, tsunami, dan likuefaksi dua bulan sebelumnya.
Mereka masih bergeming (diam, tidak berubah) mengatakan “jelek” ketika Kak Heru mencoba menggodanya dengan kata “ganteng/tidak?”. Setelah mendongeng dengan judul cerita “Ayam Putih dan Ayam Hitam”, Kak Heru mengeluarkan si Momo, boneka kesayangannya yang dapat diskenariokan seolah-olah dia menjadi “benda hidup:.
Ternyata “kelakuan” si Momo ini – disertai kata-kata kocak Kak Heru – membuat anak-anak sampai membanting-banting dirinya di kursi karena tertawa. Ibu-ibunya pun ikut terkekeh-kekeh. Sang Mayor (pendeta) memerintahkan seorang pekerja membuka tenda yang menghalangi pandangan agar beberapa pekerja pun dapat melihat aksi Kak Heru dan si Momonya. Sang Mayor dan para pekerja pun ikut terpingkel-pingkel terkekeh-kekeh dibuat Ka Heru.
Senin (26/11/2018) pagi sebelum kembali ke Makassar, Kak Heru tampil mendongeng lagi di SDN Inpres 6 Lolu Palu di Jl. Kartini. Ratusan anak memadati sebuah tenda lengkung putih yang dijadikan sebagai tempat belajar. Guru SD Inpres itu Hj. Rusnah, S.Pd, mengajak sejumlah teman guru lainnya bergabung dengan para muridnya.
“Nenek Pakande”, raksasa jahat dan menakutkan, judul dongeng yang dibawakan Kak Heru yang membuat anak-anak tampak ketakutan pada akhir cerita. Namun mereka segera terpingkel-pingkel lagi, bahkan sampai menggulung-gulung badannya di tanah beralas plastik, karena tidak mampu menahan tertawanya, ketika si Momo muncul dan melihat “kelakuannya”.
Di SDN Donggala Kodi, 300 m dari Balaroa, pusat cesar Palu Koro, Kak Heru berdongeng tentang “Pasukan Gajah”, terilhami dari Surah Al Fiil. Seperti biasa, anak-anak kembali terbahak-bahak ketika melihat kemunculan si Momo. Bukan hanya anak-anak dan gurunya yang terkocok perutnya, Prof. Husni Tanra dan dr. Faridnan Sp.An yang telah menjadi tuan rumah dan pemandu yang baik selama tim di Palu, pun ikut terbahak-bahak.
Sebelumnya, tiga subuh tim juga mengunjungi tiga masjid yang berbeda di Kota Palu. Tim menyampaikan tausiah serta memberikan cenderamata kepada jamaah yang hadir. Ketua jamaah masjid gembira dan menyampaikan terima kasih atas kehadiran tim ini.
“Ya, anak-anak sempat bergembira sedikit melupakan trauma psikologis akibat gempa yang menimpa mereka,” gumam saya ketika Batik Air nomor penerbangan 6231 pukul 17.55, sama dengan flight terakhir dipandu almarhum Antonius Gunawan Agung, petugas Air Traffic Controller (ATC) Palu, yang tewas akibat tertimpa gedung tower. Pesawat sore itu terus mengangkasa akan “memeluk” Makassar, menjauhi Bumi Tadulako yang masih terluka. (*)