Lebih jauh lagi, penyimpangan ini juga mencerminkan lemahnya pengawasan internal. Tidak adanya sistem validasi berat paket yang terintegrasi dan ketergantungan pada input manual menunjukkan celah besar dalam sistem operasional PT Pos Indonesia. Jika penyimpangan semacam ini bisa terjadi dalam lingkup layanan kargo haji, tidak tertutup kemungkinan pola serupa dapat terjadi di sektor layanan lainnya, yang tentu menimbulkan risiko reputasi dan hukum bagi perusahaan.
Dampak dari tindakan manipulatif ini tetap ada, baik terhadap kepercayaan publik maupun integritas sistem operasional perusahaan. Penyelesaian internal tanpa langkah korektif yang menyeluruh hanya akan memperbesar ruang terjadinya pelanggaran serupa di kemudian hari.
Laporan masyarakat ke Kejaksaan Agung menunjukkan bahwa publik menganggap kasus ini layak untuk diselidiki secara hukum. Keberadaan dugaan perbuatan melawan hukum dalam lingkup internal korporasi, apalagi yang dilakukan secara terorganisir dan tanpa dasar kebijakan resmi, dapat masuk ke dalam ranah pidana korporasi dan pelanggaran terhadap prinsip transparansi pengelolaan badan usaha milik negara.
Hingga berita ini diturunkan, PT Pos Indonesia belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait laporan tersebut. Namun dalam konteks perusahaan publik, keterbukaan informasi dan sikap kooperatif terhadap proses hukum menjadi penting untuk menunjukkan komitmen terhadap akuntabilitas dan perbaikan tata kelola.
Atas passifnya PT Pos Indonesia dalam merespons dugaan tindak pidana ini, Arief selaku ketua LSM KAI mengancam akan melakukan aksi unjuk rasa untuk meminta aparat penegak hukum segera memproses laporan tersebut, karena PT Pos Indonesia tidak memberikan penjelasan sehingga patut diduga tindakan fraud ini dilakukan secara sistematis di lingkungan PT Pos Indonesia.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa perusahaan negara memiliki beban tanggung jawab ganda: melayani kepentingan masyarakat sekaligus menjaga integritas internal. Setiap bentuk penyimpangan, sekecil apa pun, harus ditangani secara serius dan transparan, agar tidak menggerus kepercayaan publik dan merusak fondasi tata kelola perusahaan yang sehat. (*)