Ia juga mendorong pemerintah daerah dan pusat untuk memperkuat kapasitas kelembagaan masyarakat adat melalui regulasi, pelatihan, dan kemitraan strategis.
“Kebijakan publik yang baik harus membuka ruang dialog, memperkuat representasi masyarakat adat dalam pengambilan keputusan, serta memastikan mekanisme kontrol dan akuntabilitas berjalan efektif,” tambahnya.
Pada kesempatan yang sama Rd Cayetanus A. Masriat, yang diundang sebagai salah satu narasumber dengan fokus pembahasan masyarakat adat Tanimbar berdasarkan kajian Sosiologi, menjelaskan bahwa masyarakat adat Tanimbar memiliki struktur sosial, nilai budaya, serta sistem relasi yang khas dan kuat, yang menjadi modal sosial penting dalam menghadapi peluang serta tantangan pengembangan Blok Masela. Dari perspektif sosiologi, dinamika sosial yang akan muncul akibat masuknya investasi besar perlu dipahami secara mendalam agar tidak merusak tatanan sosial masyarakat lokal.
“Pembangunan Blok Masela bukan hanya persoalan ekonomi dan infrastruktur, tetapi juga proses perubahan sosial yang besar. Jika tidak dikelola dengan baik, perubahan ini dapat memicu ketegangan sosial, pergeseran nilai, bahkan konflik internal dalam komunitas adat,” ujarnya.
Cayetanus menjelaskan bahwa masyarakat adat Tanimbar selama ini memiliki mekanisme sosial yang solid dalam menjaga kohesi dan harmoni komunitas. Namun, arus modernisasi, migrasi tenaga kerja, serta masuknya budaya luar melalui proyek besar seperti Blok Masela dapat menjadi faktor yang menguji ketahanan sosial mereka.
“Oleh karena itu, perlu ada strategi sosiologis yang menempatkan masyarakat adat sebagai aktor utama dalam perubahan sosial tersebut. Kekuatan modal sosial seperti kepercayaan, gotong royong, dan kepemimpinan adat — harus diperkuat, bukan dilemahkan,” jelasnya.
Sosiolog asal STPAK Ambon dan Rohaniawan Katolik itu menekankan pentingnya pendekatan partisipatif dalam setiap proses pembangunan. Dengan melibatkan masyarakat adat dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek, maka perubahan sosial dapat diarahkan secara positif, memperkuat identitas kolektif, dan mendorong adaptasi yang sehat terhadap dinamika modernisasi.
“Blok Masela akan membawa peluang besar, tetapi juga potensi disrupsi sosial. Dengan pemahaman sosiologis yang tepat, masyarakat adat Tanimbar dapat menjaga integritas sosial-budaya mereka sambil memanfaatkan peluang pembangunan untuk kesejahteraan bersama,” tutupnya.
Usai sesi diskusi, kegiatan dilanjutkan dengan pertunjukan budaya yang menghadirkan beragam kesenian tradisional Tanimbar. Di antaranya adalah Foruk, Tarian-tarian adat, musik daerah, serta Rap Tanimbar.
Penampilan ini tak hanya menjadi ajang pelestarian budaya, namun juga menjadi bentuk ekspresi kultural atas marjinalisasi masyarakat adat di tengah proyek Migas yang masuk ke wilayah Tanimbar.
Antusiasme tinggi ditunjukkan oleh para peserta dan tamu undangan yang hadir, baik dari kalangan mahasiswa, akademisi, komunitas budaya, maupun masyarakat umum.
PERMATA Malang berharap kegiatan ini menjadi titik awal bagi kesadaran kolektif mengenai pentingnya menjaga keadilan sosial dan keberlanjutan budaya dalam setiap bentuk pembangunan, termasuk megaproyek Blok Masela.
“Kami ingin menyampaikan bahwa masyarakat adat bukan objek, melainkan subjek pembangunan. Suara mereka harus didengar, budaya mereka harus dihormati,” tutup Boy Calvin Masombe.
Kegiatan ini menjadi momentum untuk mengingatkan semua pihak bahwa pembangunan yang berkelanjutan bukan hanya soal ekonomi dan infrastruktur, tetapi juga soal keberpihakan terhadap manusia dan budaya yang telah lama hidup berdampingan dengan alam. (*)