Sementara, tiga sesi lanjutan yaitu The AI Waves, The Safe Space, dan Wanting Release dirancang untuk mengeksplorasi hubungan emosional dan psikologis partisipan dengan AI. Dalam sesi ini, mahasiswa diajak mengenali pola pikir, dorongan impulsif, dan kecemasan yang muncul terkait penggunaan AI.
“Lewat sesi The AI Waves, kami meminta peserta memvisualisasikan gelombang pikiran yang mendorong mereka membuka AI saat merasa tidak mampu. Kami tidak menghakimi, tapi mengajak mereka mengamati dan memahami dorongan yang muncul,” jelas Melisa.
Hasil dari intervensi ini menjanjikan melalui catatan harian, ditemukan bahwa meditasi mindfulness membantu memberikan penyadaran atas kebiasaan menggunakan AI secara otomatis. Banyak yang berpenghayatan mulai dapat mengelola keinginan menggunakan AI dan mencoba berpikir secara mandiri.
Partisipan inisial N menulis dalam buku hariannya, “Setelah sesi selesai, saya menyadari bahwa saya membuka ChatGPT setiap kali merasa cemas tidak bisa menjawab soal. Sekarang saya belajar untuk memberi jeda, mencoba secara mandiri mengerjakan tugas, lalu pakai AI jika benar-benar butuh saja.” Pernyataan ini menunjukkan peningkatan motivasi belajar dan kontrol diri peserta setelah mengikuti program.
Melalui program ini, sambung Salsyahrani Qurana, Tim AI-Ware menekankan bahwa pihaknya tidak anti-AI. Sebaliknya, mereka ingin mendorong penggunaan AI secara bijak dan beretika, guna mendorong kesadaran bahwa teknologi hanyalah alat bantu, bukan pengganti kapasitas intelektual mahasiswa.
“Kita tidak bisa lepas dari AI, tapi kita bisa belajar menggunakannya dengan sadar,” tegasnya mengakhiri keterangannya. (*)