Dalam satu kisah yang diwariskan turun-temurun, Abdullah Daeng Sirua pernah ditembak oleh pasukan Belanda namun tidak mati. Ia selamat dan tetap melanjutkan perjuangannya. Di mata rakyat Tidung, peristiwa itu bukan sekadar keajaiban, melainkan bukti bahwa keberanian bisa lebih kuat dari peluru.
Menurut penuturan H.Muh Yahya Daeng Nai, keponakan Abdullah Daeng Sirua sekaligus cucu dari Yusuf Daeng Ngawing, rumah keluarga besar mereka di Tidung pernah menjadi tempat persembunyian para pejuang. Di sanalah Wolter Mongisidi sempat bersembunyi di sebuah sumur ketika dikejar oleh pasukan Belanda. Cerita itu kini hidup sebagai bagian dari memori kolektif. Bahwa, perjuangan tak selalu terjadi di medan perang, tetapi juga di halaman rumah-rumah sederhana.
Kini, makam Abdullah Daeng Sirua dan Yusuf Daeng Ngawing berada di Tidung Mariolo. Di lokasi yang sama dengan rumah tempat keduanya dulu tinggal dan berjuang. Di sanalah dua generasi pejuang ini beristirahat, di tanah yang mereka cintai dan pertahankan dengan segala keberanian.
Nama mereka kini menjadi nama jalan di Makassar. Dua ruas yang tak pernah bersinggungan di peta. Tetapi saling terhubung dalam ingatan sejarah lokal.
Dua nama itu kini terpatri di jalan-jalan Makassar. Bukan sekadar tanda arah, melainkan jejak keberanian dua generasi yang mengajarkan kita bahwa kemerdekaan lahir dari tekad untuk tidak menyerah pada ketakutan. (*).