Di Luwu Timur, saya pernah melihat perpustakaan kecil di pojok sebuah kantor desa. Raknya sederhana, tapi ada anak-anak sekolah yang datang setiap sore. Mereka meminjam buku cerita, kadang membuka laptop bantuan desa untuk mencari bahan tugas. Tidak ramai, tapi hidup. Saya pikir, di sanalah masa depan itu diam-diam bertunas.
Bayangkan jika setiap desa punya perpustakaan digital yang bukan hanya menyimpan buku, tapi juga data lokal, arsip sejarah, hasil riset warga, bahkan karya sastra anak muda setempat. Bukankah itu bisa menjadi “Google-nya” masyarakat desa ?
Perpustakaan bukan soal buku tebal atau rak panjang. Ia tentang akses terhadap ilmu pengetahuan yang adil. Tentang kesempatan untuk siapa saja belajar, tanpa harus kaya, tanpa harus punya kuota.
Masyarakat cerdas bukan yang paling cepat membaca berita, tapi yang paling dalam memahami maknanya. Dan kecerdasan seperti itu tak lahir dari scrolling, tapi dari membaca dengan hati yang tenang, pikiran yang terbuka, dan rasa ingin tahu yang tak pernah padam.
Maka, jangan anggap perpustakaan hanya bangunan. Ia adalah simbol. Simbol bahwa pengetahuan masih punya rumah di tengah hiruk pikuk digital. Bahwa kecerdasan sejati tak pernah usang, meski dunia berubah setiap hari. (#)