Kadir menyebut potensi kerugian negara dalam kasus ini tak melulu soal uang. “Kita bicara soal total loss, yaitu ekonomi lokal hancur, ekologi rusak, nilai budaya hilang. Semua itu terjadi di depan mata aparat hukum,” katanya.
ACC Sulawesi juga mengkritik lambannya Kejati Sulsel menuntaskan penyelidikan. “Kalau bukti sudah cukup, kenapa belum ada tersangka?. Harusnya bisa meniru gerak cepat Kejaksaan Agung dalam kasus-kasus korupsi besar,” ujar Kadir.
Dari pihak kejaksaan, Kasi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Soetarmi, membenarkan, penyelidikan sudah selesai di tingkat intelijen.
“Kami tinggal menunggu ekspose bersama pimpinan untuk menentukan langkah berikutnya,” katanya.
Namun ketika ditanya kapan ekspose itu akan digelar, Soetarmi hanya menjawab singkat, “Dalam waktu dekat,” katanya.
Kalimat itu, ucap Kadir, sudah terlalu sering didengar publik. “Dalam waktu dekat” bisa berarti sebulan, setahun, atau bahkan tidak pernah.
Sumber internal kejaksaan yang ditemui media ini, mengungkapkan, berkas Tikala kini tengah dilimpahkan dari bidang intelijen ke bidang tindak pidana khusus (Pidsus).
Langkah itu dianggap sinyal, kasus mulai serius ditangani, meski sebagian pihak menilai ini belum cukup. “Kalau hanya pindah meja, ya sama saja,” ujar sumber tersebut.
Sejumlah pegiat lingkungan di Toraja Utara juga menyoroti lemahnya koordinasi antara pemerintah daerah dan aparat hukum. “Izin tambang bisa terbit begitu saja, tanpa kajian lingkungan memadai,” kata salah satu aktivis yang enggan disebut namanya. Ia menduga, ada tekanan politik di balik penerbitan izin tersebut.
Sementara di Tikala, warga masih menunggu keadilan. Mereka tak lagi berharap tambang ditutup total, tapi ingin ada kejelasan hukum dan tanggung jawab lingkungan.
“Kalau Kejati tidak bisa menegakkan hukum di sini, di mana lagi rakyat harus percaya?” tanya Kalvin.
Kini, bola panas Tambang Tikala resmi berada di tangan pimpinan baru Kejati Sulsel. Publik menanti langkah pertama yang akan diambil, membuka kembali berkas lama yang berdebu, atau membiarkannya tetap tertimbun.
Sementara itu, dari lereng-lereng Tikala, suara mesin masih meraung tiap pagi. Gunung terus dikeruk, tanah adat terus terkikis, dan waktu seolah ikut digali, perlahan mengubur kepercayaan publik kepada hukum yang seharusnya melindungi mereka, Kalvin Tandiarrang, menandaskan. (Hdr)