Setiba di area Boulevard, hamparan kegiatan mewarnai jalan tersaji di depan mata. Musik dari pengeras suara menggema di sepanjang jalan bersaing dengan suara pedagang menyeru pelanggan. Di sisi kiri jalan, deretan stand menjual berbagai produk. pakaian, tanaman hias, barang loak, aksesoris, hingga perabotan rumah tangga. Di sisi kanan jalan, berbagai jenis makanan dan minuman, baik yang siap santap maupun bahan mentah menyemarakkan pagi itu. Penjual balon warna-warni berusaha menarik perhatian anak-anak membelinya. Di sisi lain jalan, segerombol manusia meneriakkan simpatinya kepada Palestina. Ucapan “Free Palestine” ikut hadir menggema di udara, menambah semangat Minggu pagi itu.
Di antara keramaian, aroma makanan dan minuman modern yang menggoda itu, ada satu pemandangan yang tampak berbeda. Seorang ibu berhijab ungu tampak tersenyum ramah melayani pembeli di depan rak dorongnya. Beberapa wadah plastik berisi kue tradisional tersusun di atasnya. Di tengah maraknya lautan makanan modern khas Korea, Jepang, Cina yang tampil dengan kemasan kekinian, Ibu Raodah (35) tetap setia mempertahankan dagangan kue tradisional Indonesia dengan sebuah cita rasa masa lalu yang ia jaga di tengah arus modern ini.
“Itu hari jalan-jalan ka ke sini dan ndak ada orang yang punya beginian, itu mi coba-coba mi deh dan alhamdulillah laku,” ujarnya sambil mengambil beberapa kue yang dimasukkan ke dalam kantong plastik bening. Senyumnya tak lepas. Seolah setiap kue yang diambilnya bukan sekadar jualan, melainkan bagian dari alasannya untuk menarik bibir ke atas.
Ibu Raodah sudah lama menjual kue tradisional. Tapi ia baru mulai berjualan di area CFD Boulevard September lalu. Setiap Minggu, ia menjajakan berbagai jenis kue tradisional bersama beberapa orang yang kebetulan keluarganya membantu dia membuat kue-kue tersebut. Dia menjajakan kue tradisional di tengah ‘gempuran’ makanan beraroma moderen. Menjaga rasa lama di era baru. (*).

