Masyita Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Unhas/Magang ‘identitas’
Pada tanggal 11-12 Oktober 2025, Penerbitan Kampus Unhas ‘identitas’ menggelar Pendidikan Dasar Jurnalistik bagi para reporter dan magangnya. Pada hari kedua, Minggu (12/10/2025), para peserta dilepas memburu berita ke ajang “Car Free Day” (CFD) Jl. Boulevard Makassar. Tulisan mereka mewakili simbol geliat kehidupan di CFD. Catatan mereka dimuat mulai hari ini beberapa seri ke depan. (Redaksi)
Pagi itu di Villa Datu, suara teriakan bertaut satu sama lain. Suara yang menghentak sekian banyak kepala yang mungkin baru terhitung puluhan menit terlelap setelah mengikuti Pendidikan Dasar (dikdas) Jurnalistik identitas yang padat dan melelahkan. Mungkin di antara mereka ada yang belum menuntaskan mimpi-mimpinya. “Bangun! Bangun!,” suara horor itu ikut masuk menembus mimpi, membuat orang-orang terbangun seketika. Terbayang bagaikan calon tentara hidup di asrama yang siap dengan agenda pagi hari. Waktu kembali berputar. Natahari perlahan menampakkan dirinya. Sinarnya yang belum begitu hangat menebar di wilayah Boulevard Makassar Minggu (12/10/2025) pagi itu. Mengiringi langkah kami menuju Jl. Boulevard. Pagi kembali menjelang. Namun bedanya, kali ini akhir pekan. Waktu yang sangat tepat untuk bersantai. Sekitar pukul 07.00 Minggu pagi, teriakan “bassang, sambalu!” menandakan saatnya mencari santapan pagi, terutama udara yang terasa bersahabat. Langit cerah, menandakan inilah waktu yang pas menjelajahi Car Free Day (CFD) yang dilaksanakan setiap hari Minggu itu.
Jarak yang dekat dari villa ke wilayah CFD menjadikan jalan kaki pilihan yang tepat. Suara langkah yang beriringan, kendaraan yang berlalu lalang, dan tawa anak kecil yang bermain di pinggir jalan turut membersamai kami selama perjalanan sekitar sepuluh menit itu. Ya, semuanya “sibuk” dengan “urusannya” masing-masing.
Setiba di area Boulevard, hamparan kegiatan mewarnai jalan tersaji di depan mata. Musik dari pengeras suara menggema di sepanjang jalan bersaing dengan suara pedagang menyeru pelanggan. Di sisi kiri jalan, deretan stand menjual berbagai produk. pakaian, tanaman hias, barang loak, aksesoris, hingga perabotan rumah tangga. Di sisi kanan jalan, berbagai jenis makanan dan minuman, baik yang siap santap maupun bahan mentah menyemarakkan pagi itu. Penjual balon warna-warni berusaha menarik perhatian anak-anak membelinya. Di sisi lain jalan, segerombol manusia meneriakkan simpatinya kepada Palestina. Ucapan “Free Palestine” ikut hadir menggema di udara, menambah semangat Minggu pagi itu.
Di antara keramaian, aroma makanan dan minuman modern yang menggoda itu, ada satu pemandangan yang tampak berbeda. Seorang ibu berhijab ungu tampak tersenyum ramah melayani pembeli di depan rak dorongnya. Beberapa wadah plastik berisi kue tradisional tersusun di atasnya. Di tengah maraknya lautan makanan modern khas Korea, Jepang, Cina yang tampil dengan kemasan kekinian, Ibu Raodah (35) tetap setia mempertahankan dagangan kue tradisional Indonesia dengan sebuah cita rasa masa lalu yang ia jaga di tengah arus modern ini.
“Itu hari jalan-jalan ka ke sini dan ndak ada orang yang punya beginian, itu mi coba-coba mi deh dan alhamdulillah laku,” ujarnya sambil mengambil beberapa kue yang dimasukkan ke dalam kantong plastik bening. Senyumnya tak lepas. Seolah setiap kue yang diambilnya bukan sekadar jualan, melainkan bagian dari alasannya untuk menarik bibir ke atas.
Ibu Raodah sudah lama menjual kue tradisional. Tapi ia baru mulai berjualan di area CFD Boulevard September lalu. Setiap Minggu, ia menjajakan berbagai jenis kue tradisional bersama beberapa orang yang kebetulan keluarganya membantu dia membuat kue-kue tersebut. Dia menjajakan kue tradisional di tengah ‘gempuran’ makanan beraroma moderen. Menjaga rasa lama di era baru. (*).

