Katirisala dan barongko menjadi andalan pelanggan. Dua jenis kue ini, katanya, paling rumit dibuat. Katirisala, misalnya, butuh waktu lama dimasak hingga lapisannya mengeras sempurna. Barongko pun, harus dikukus dalam suhu tepat agar lembut dan tidak berair. Saat ia menjelaskan, seorang ibu berbaju putih biru berhenti di depan lapak kecil itu, mencoba sepotong barongko.
“Enak sekali ya, manisnya pas,” ucap Ibu itu sambil tersenyum.
Beberapa menit kemudian, ia langsung memesan beberapa kotak kue untuk acara yang akan diadakannya beberapa hari kemudian. Ibu Vika membalas dengan ucapan terima kasih dan senyum lebar. Senyum yang seakan membayar lelah semalam suntuk di dapur. Perjalanan berjualannya tak selalu mudah. Di awal-awal, pembeli belum banyak karena rasa kuenya masih terus ia kembangkan. “Dulu masih coba-coba resep, sampai akhirnya tahu mana yang disukai orang,” dia bercerita.
Ia sempat bereksperimen dengan tambahan pemanis. Namun kembali ke bahan alami karena pembeli lebih menyukai rasa yang lembut dari gula asli. Sejak saat itu, pelanggannya mulai bertambah. Promosi pun ia lakukan lewat media sosial, dibantu oleh adiknya yang mengelola akun Instagram dan Facebook. Dari sana, banyak pelanggan baru datang. Bahkan sampai ada yang memesan kue untuk acara besar.
Harga kuenya pun terjangkau. Mulai dari lima ribu hingga dua puluh ribu rupiah. Ia mengeluarkan kartu nama kecil dari dompetnya, bertuliskan daftar harga dan nomor kontak. “Kalau ada acara nikahan, bisa pesan lewat WA,” katanya berpromosi sembari melayani pelanggan lain yang menanyakan harga sikaporo.
Lapaknya ramai, tapi suasana tetap hangat. Pembeli bercakap santai dan aroma pisang kukus pelan-pelan memenuhi udara pagi. Ibu Vika mungkin tampak seperti pedagang sederhana. Tapi kisahnya menyimpan keteguhan yang tak sederhana: ketekunan, cinta pada tradisi, dan keyakinan bahwa rasa jujur akan menemukan jalannya sendiri.
Di tengah hiruk-pikuk makanan modern yang silih berganti, ia tetap berdiri di sudut Boulevard dengan senyum lembut dan wadah kue di depannya. Menjual bukan hanya makanan, melainkan juga warisan rasa yang mengikat masa lalu dan masa kini.

