Oleh: A. Devi Kukira Mahasiswa Prodi Akuntansi FEB/Magang ‘identitas’
Udara subuh di kawasan Boulevard Makassar masih lembap ketika langkah-langkah kecil terdengar di antara deretan tenda yang baru dibuka. Pada salah satu sudut Car Free Day (CFD), seorang perempuan berkerudung sederhana tengah menata jualannya. Ada barongko, katirisala, sikaporo, dan masih banyak lainnya. Semuanya tersusun rapi di wadah plastik bening. Siap menyambut dan menarik perhatian siapa pun yang melintas. Perempuan itu, Ibu Vika. Pedagang kue tradisional yang sudah tiga tahun berjualan di tempat itu. “Kalau di sini, lewat jam enam sudah tidak bisa mobil masuk,” ujarnya sambil tersenyum.
Tak ada lagi aktivitas membungkus atau mengukus kue di pagi itu. Semuanya telah disiapkan pada malam dari tadi. Selepas magrib, dapur rumahnya di Jalan Ujung Pandang Baru hidup dengan kesibukan. Adonan pisang yang dihaluskan, gula merah yang dilelehkan, dan berbagai wadah, dipersiapkan untuk membungkus. Saat kebanyakan orang mulai terlelap, Ibu Vika justru baru memulai “pertempuran”-nya di dapur. Memastikan setiap kue matang tepat waktu agar bisa dibawa ke lokasi subuh hari.
Setiap Minggu subuh, ia berangkat bersama suaminya. Mereka berpencar di dua tenant berbeda. Menjual jenis kue yang sama agar bisa menjangkau lebih banyak pembeli. Trik pemasaran bisnis yang bagus juga. “Dibagi, biar sama-sama dapat pembeli,” katanya ringan.
Sudah sepuluh tahun Ibu Vika menekuni usaha ini. Kemahirannya membuat kue sudah lebih dari lima belas tahun ia pelajari dan turun dari sang ibu. Rutinitas itu telah menjadi bagian dari hidupnya, nyaris tanpa jeda, dari pasar tradisional hingga kini ke jalanan Car Free Day.
Sebelum pindah ke Boulevard, Ibu Vika menghabiskan hari-harinya di Pasar Sentral Makassar. Di sana ia berjualan setiap hari. Dari Senin sampai Sabtu. Sementara Minggu ia khususkan untuk Car Free Day. Agaknya, tidak ada hari yang terlewatkan demi mengais rezeki.
Pergeseran tempat berjualan bukan sekadar strategi mencari ramai, melainkan juga bentuk penyesuaian dengan ritme hidup baru. Car Free Day ramai orang berolahraga. Banyak juga yang mencari kue tradisional,” ujarnya sambil melayani pembeli yang datang silih berganti.
Kue tradisional yang dijualnya bukan sekadar dagangan. Ia percaya kue adalah bagian dari identitas budaya. Di tengah maraknya makanan kekinian, Ibu Vika memilih bertahan dengan rasa yang turun-temurun. Ia yakin, keaslian rasa adalah hal yang membuat kue tradisional tak lekang oleh waktu. “Yang membuat kue tradisional tetap dicari orang adalah keseimbangan rasa dan kesederhanaan bahan. Yang penting rasanya pas dan bersih,” ujarnya pelan.
Katirisala dan barongko menjadi andalan pelanggan. Dua jenis kue ini, katanya, paling rumit dibuat. Katirisala, misalnya, butuh waktu lama dimasak hingga lapisannya mengeras sempurna. Barongko pun, harus dikukus dalam suhu tepat agar lembut dan tidak berair. Saat ia menjelaskan, seorang ibu berbaju putih biru berhenti di depan lapak kecil itu, mencoba sepotong barongko.
“Enak sekali ya, manisnya pas,” ucap Ibu itu sambil tersenyum.
Beberapa menit kemudian, ia langsung memesan beberapa kotak kue untuk acara yang akan diadakannya beberapa hari kemudian. Ibu Vika membalas dengan ucapan terima kasih dan senyum lebar. Senyum yang seakan membayar lelah semalam suntuk di dapur. Perjalanan berjualannya tak selalu mudah. Di awal-awal, pembeli belum banyak karena rasa kuenya masih terus ia kembangkan. “Dulu masih coba-coba resep, sampai akhirnya tahu mana yang disukai orang,” dia bercerita.
Ia sempat bereksperimen dengan tambahan pemanis. Namun kembali ke bahan alami karena pembeli lebih menyukai rasa yang lembut dari gula asli. Sejak saat itu, pelanggannya mulai bertambah. Promosi pun ia lakukan lewat media sosial, dibantu oleh adiknya yang mengelola akun Instagram dan Facebook. Dari sana, banyak pelanggan baru datang. Bahkan sampai ada yang memesan kue untuk acara besar.
Harga kuenya pun terjangkau. Mulai dari lima ribu hingga dua puluh ribu rupiah. Ia mengeluarkan kartu nama kecil dari dompetnya, bertuliskan daftar harga dan nomor kontak. “Kalau ada acara nikahan, bisa pesan lewat WA,” katanya berpromosi sembari melayani pelanggan lain yang menanyakan harga sikaporo.
Lapaknya ramai, tapi suasana tetap hangat. Pembeli bercakap santai dan aroma pisang kukus pelan-pelan memenuhi udara pagi. Ibu Vika mungkin tampak seperti pedagang sederhana. Tapi kisahnya menyimpan keteguhan yang tak sederhana: ketekunan, cinta pada tradisi, dan keyakinan bahwa rasa jujur akan menemukan jalannya sendiri.
Di tengah hiruk-pikuk makanan modern yang silih berganti, ia tetap berdiri di sudut Boulevard dengan senyum lembut dan wadah kue di depannya. Menjual bukan hanya makanan, melainkan juga warisan rasa yang mengikat masa lalu dan masa kini.

