Kasus tambang Tikala, kata Kadir, berawal dari terbitnya izin usaha pertambangan batu gamping untuk CV BD, yang diduga tidak memiliki dasar hukum tata ruang.
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Toraja Utara 2012–2032, wilayah Tikala tidak tercantum sebagai zona pertambangan.
Selain menyalahi RTRW, ujarnya, aktivitas tambang juga dinilai mengancam situs budaya Tongkonan Marimbunna dan sumber mata air Bombong Wai, dua titik penting yang menjadi bagian dari identitas dan sumber kehidupan masyarakat setempat.
Rektor Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKI Paulus) sekaligus tokoh masyarakat Toraja Utara, Prof. Agus Salim, menilai penerbitan izin tersebut mencerminkan lemahnya kepatuhan terhadap hukum tata ruang.
“RTRW itu hukum dasar pembangunan daerah. Melanggarnya berarti mengabaikan tatanan hukum yang paling mendasar,” ujarnya.
DPRD Sulsel melalui Komisi D sebelumnya juga telah mengeluarkan rekomendasi untuk memperkecil area tambang dari 24,9 hektare menjadi 5 hektare serta menghentikan sementara kegiatan eksploitasi hingga semua syarat hukum, sosial, dan lingkungan dipenuhi.
Dengan berkas penyelidikan kini di tangan penyidik Pidsus, sorotan publik tertuju pada pimpinan baru Kejati Sulsel. Pelimpahan ini menjadi ujian pertama bagi mereka dalam menunjukkan keseriusan menegakkan hukum di sektor sumber daya alam, yang selama ini kerap menjadi ladang kompromi kekuasaan.
“Kalau Kajati baru berani menuntaskan perkara ini, kepercayaan publik terhadap kejaksaan bisa pulih,” kata Kadir Wokanubun.
“Tapi jika kasus ini kembali mandek, itu akan mencoreng wajah penegakan hukum di Sulsel,” tuturnya.
Bagi warga Tikala, tambang batu gamping bukan sekadar perkara izin atau pelanggaran administrasi. Ia menyangkut masa depan kampung, situs budaya, dan sumber air.
Pelimpahan kasus ke Pidsus menjadi harapan kecil di tengah rasa pesimis yang terlanjur tumbuh.
“Yang kami tunggu sekarang bukan janji, tapi tindakan,” tandas Prof. Agus, lirih. (Hdr)

