Foto dokumen: Geliat menyambung hidup di CFD.
Syarifah Khumairah
Prodi Sastra Asia Barat FIB/Magang ‘identitas’
Suara gemuruh pijakan kaki di atas aspal Panakukang selalu punya nada optimisme. Pagi hari, ketika embun baru luruh dan matahari belum terlampau garang, jalan raya Boulevard seketika menjelma pasar. Di tengah ramainya manusia yang berburu sehat dan tawa, Tanika (nama samaran) 12 tahun, berdiri kokoh.
Ia bukan duduk di balik meja, atau di bawah tenda, melainkan di tengah jalan. Berpakaian seadanya dengan keranjang berisi dalgona — permen gula Korea yang terbuat dari gula dan soda kue — yang melingkar di lehernya. Aroma karamel yang samar menjadi mantra penarik rezeki. Dengan harga lima ribu rupiah per buah, ia menawarkan cita rasa manis di Car Free Day Boulevard Panakkukang, Ahad (13/10/2025) pagi itu.
Tanika, siswi kelas 6 sekolah dasar, telah menjadi pedagang cilik sejak kelas 4. Ia memilih berjualan dalgona agar bisa membeli makanan dan menabung. Cita-citanya sederhana tapi luhur: menjadi guru matematika seperti sosok yang ia kagumi di sekolahnya.
Namun di balik senyumnya yang polos, tersimpan cerita yang getir. Berjualan bukan sekadar menabung, melainkan membangun jarak fisik dan batin dari lorong tempat ia tinggal, di Jalan Bambu, Kecamatan Joa (bukan nama sebenarnya). Di lorong itu, ia sering bertemu dengan suara perang busur dan transaksi “garam halus” atau narkoba. Setiap Ahad, Tanika bangun pukul enam pagi. Ia menyiapkan sekitar tiga puluh dalgona dengan motif bintang, kucing, bulan, dan burung bersama tante dan dua sepupunya. Mereka menanti pembeli di tepi jalur yang kini diubah menjadi satu arah. Dinas Perhubungan Makassar, dikutip dari kumba.news, menyebut pengaturan ini untuk keteraturan dan mengurangi gesekan antara pengunjung yang berolahraga dan pedagang. Namun perubahan itu, diakui Tanika, membuat pembeli berkurang. Sekarang harus menunggu lama baru ada yang beli,” ujarnya pelan.
Ayahnya bekerja sebagai pengemudi ojek online. Ibunya berjualan di rumah. Aktivitas berdagang Tanika adalah bentuk kemandirian kecil yang ia bangun sendiri. Ia menikmati pekerjaannya, meskipun kadang harus berjualan tanpa sarapan karena tergesa-gesa. Di sini saya aman. Orang-orang yang beli juga baik-baik,” katanya, membandingkan ketenangan CFD dengan lingkungan rumahnya yang kerap gaduh.
Di Jalan Bambu, keamanan adalah barang mewah. “Perang busur” adalah istilah lokal untuk konflik antarwarga menggunakan panah rakitan. Data Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Makassar mengungkapkan, hingga pertengahan 2024 setidaknya 23 kasus perang busur terjadi di wilayah kota. Sebagian besar di Kecamatan Tamalate dan Tallo, dua kawasan padat yang mirip dengan tempat tinggal Tanika.
Pemandangan itu menciptakan trauma. Ia menceritakan dengan detail adanya korban tidak bersalah yang terkena panah di wajah saat melintas dengan motor. Foto kejadian itu masih ada. Tanika mengaku takut saat perang pecah, namun tidak bisa menutup pintu karena kegiatan jualan ibunya yang ada di depan rumah. Lapisan trauma yang lebih gelap adalah transaksi narkoba di dekat rumahnya. Narkoba, yang ia deskripsikan sebagai "garam halus" atau serbuk putih beroperasi di lingkungannya. Semua pelakunya saling kenal dan rumah yang saling berdekatan termasuk pamannya, Jano (bukan nama sebenarnya).
Ironis, Jano disebut-turut membeli dan menggunakan barang haram itu. Tanika bahkan menyaksikan pamannya itu menggunakan zat tersebut. Pamanya sendiri sudah tiga kali ditangkap karena kasus ini. Meskipun kini ia mengaku sudah berhenti, lingkaran gelap ini sekarang menjerat temannya yang masih SMP, yang ia sebut sebagai pengedar dan sudah ditangkap empat kali.
Yang paling mengancam, suatu malam sekitar pukul 23.00, paman temannya meminta temannya itu membawa barang haram tersebut ke rumah bos mereka.
“Malam itu kami bertiga. Saya paling belakang, karena rumahnya tidak terlalu jauh kami berjalan, tapi saya takut sekali kalau ada polisi dan ditangkap,” ungkap Tanika pelan dan di wajahnya tampak menyisakan kengerian. Bos besar di lingkungan itu digambarkan sebagai Ibu Felicia (bukan nama sebenarnya), seorang perempuan yang terlihat baik. Memiliki rumah berlantai, dan sering bersedekah ayam geprek di hari Jumat. Kontras inilah yang membuat Tanika berharap “bisa cari pekerjaan lain yang lebih halal," meskipun ia tetap menerima makanan sedekahnya.
Bagi banyak anak, pemandangan seperti itu bisa melahirkan luka mendalam. Namun bagi Tanika, kekerasan, penangkapan, bahkan penggerebekan sudah menjadi “hal seru” tontonan harian yang ia saksikan tanpa pilihan. Sebuah bentuk normalitas yang keliru, tapi nyata di lorong-lorong sempit kota.
Kepala Kejaksaan Negeri Makassar, melalui laporan tahunan 2023, mencatat 132 kasus anak di bawah umur yang ditangani, terbanyak adalah kasus pembusuran dan kekerasan fisik. Sementara UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak mencatat 273 anak menjadi korban kekerasan sepanjang 2024–2025. Tekanan ekonomi disebut sebagai pemicu utama.
Tanika tak bicara soal kebijakan zonasi CFD atau harga gula. Ia hanya ingin lorongnya aman. Setiap kali menjual dalgona, ia seolah menukar ketakutan dengan harapan baru. Ayahnya selalu berpesan agar tidak ikut arus gelap yang menjerat pamannya. Dan sejauh ini, Tanika menepatinya.
Pada usia 12 tahun, ia telah memahami arti resiliensi lebih dari banyak orang dewasa. Di lorong yang berdarah, ia memilih jalan yang manis. Sebab baginya, setiap dalgona bukan sekadar permen, melainkan bukti kecil bahwa harapan masih bisa dijual, bahkan di tengah aroma karamel dan bayang logam busur.

