Tak jauh dari Fahmawati berdiri seorang ayah yang bekerja sebagai sopir angkot, sengaja meliburkan diri pagi itu. Ia tak ingin melewatkan momen putrinya tampil dalam pakaian adat Bugis. “Dari kecil harus dia bangga jadi orang Indonesia,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca sambil menatap panggung kecil di depan kelas.
Kebahagiaan hari itu mungkin sederhana, namun menyisakan kesan mendalam bagi anak-anak yang sedang tumbuh memahami arti persaudaraan. Mereka mungkin belum sepenuhnya mengerti perjuangan para pemuda 28 Oktober 1928, tetapi lewat langkah-langkah kecil mereka di halaman sekolah, nilai itu tumbuh dan menyala.
Di tengah dunia yang terus berubah, perayaan ini seperti pengingat: semangat persatuan tak selalu lahir dari upacara megah. Kadang, ia muncul dari tawa anak-anak yang bangga memakai pakaian adat nenek moyangnya. Dari tangan mungil yang melambaikan merah putih tanpa ragu.
Sumpah Pemuda bukan hanya teks yang dihafalkan setiap tahun. Ia adalah janji yang diwariskan—dijaga oleh generasi yang sedang belajar mencintai tanah airnya.
Hari ini, di Makassar, janji itu kembali digaungkan… oleh pundak-pundak kecil yang sedang tumbuh, oleh hati para guru dan orang tua yang penuh harap.
Selamat Hari Sumpah Pemuda.
Bersatu kita teguh, beragam kita indah.

