Oleh : Ardhy M. Basir
Makassar, 28 Oktober — Pagi itu, halaman sekolah di berbagai sudut Kota Makassar berubah menjadi panggung keberagaman Nusantara. Anak-anak melangkah dengan bangga, mengenakan pakaian adat—ada yang bersongkok, berkain, berhias sunting emas, hingga memakai baju bodo merah menyala. Di tangan kecil mereka, bendera merah putih berkibar sederhana, namun maknanya tak terukur dalam.
Tidak hanya murid-murid yang semangat, para orang tua pun turut larut dalam suasana. Banyak yang sengaja memakai pakaian adat pula, seolah tak mau kalah dalam merayakan semangat persatuan yang sejak 96 tahun lalu digaungkan oleh para pemuda bangsa.
Di salah satu sudut Kota Makassar, suasana meriah ini terasa begitu kuat di SD Kompleks Sambung Jawa. Fahmawati Fachruddin Djalle, kepala sekolah di sekolah tersebut, mengaku terharu melihat antusias murid dan orang tua.
“Setiap tahun kami rayakan, tapi tahun ini terasa lebih menyentuh,” tuturnya dengan senyum bangga. “Kami ingin anak-anak bukan hanya tahu tentang Sumpah Pemuda dari buku, tapi merasakannya lewat kebersamaan dan cinta pada budaya sendiri.”
Menurutnya, keberagaman pakaian adat yang dikenakan siswa adalah cerminan nyata semangat Bhinneka Tunggal Ika.
“Mereka masih kecil, tapi dari sini mereka belajar: bahwa kita berasal dari daerah yang berbeda, tapi kita adalah satu bangsa,” tambah Fahmawati.
Tak jauh dari Fahmawati berdiri seorang ayah yang bekerja sebagai sopir angkot, sengaja meliburkan diri pagi itu. Ia tak ingin melewatkan momen putrinya tampil dalam pakaian adat Bugis. “Dari kecil harus dia bangga jadi orang Indonesia,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca sambil menatap panggung kecil di depan kelas.
Kebahagiaan hari itu mungkin sederhana, namun menyisakan kesan mendalam bagi anak-anak yang sedang tumbuh memahami arti persaudaraan. Mereka mungkin belum sepenuhnya mengerti perjuangan para pemuda 28 Oktober 1928, tetapi lewat langkah-langkah kecil mereka di halaman sekolah, nilai itu tumbuh dan menyala.
Di tengah dunia yang terus berubah, perayaan ini seperti pengingat: semangat persatuan tak selalu lahir dari upacara megah. Kadang, ia muncul dari tawa anak-anak yang bangga memakai pakaian adat nenek moyangnya. Dari tangan mungil yang melambaikan merah putih tanpa ragu.
Sumpah Pemuda bukan hanya teks yang dihafalkan setiap tahun. Ia adalah janji yang diwariskan—dijaga oleh generasi yang sedang belajar mencintai tanah airnya.
Hari ini, di Makassar, janji itu kembali digaungkan… oleh pundak-pundak kecil yang sedang tumbuh, oleh hati para guru dan orang tua yang penuh harap.
Selamat Hari Sumpah Pemuda.
Bersatu kita teguh, beragam kita indah.

