Andi Nadya Tenrisulung
Prodi Sastra Jepang FIB/Magang ‘identitas’
Kepulan asap dari dandang, ‘menari’ mengepul menggoda sepasang mata untuk mendekat. Dijajalinya hasil bumi beraneka warna duduk rapi beraturan. Bentuknya besar-besar dijual Rp10.000 per tiga buah. Ada jagung rebus, labu kuning, ubi jalar, telur rebus, bubur ayam, bubur kacang hijau, buah segar, bubur ketan hitam, hingga bubur Manado.
Satu-satunya, ingatan pertama Minggu pagi ialah sengatan matahari menerpa kru dan magang identitas, Penerbitan kampus Universitas Hasanuddin. Perjalanan menuju Car Free Day (CFD) Boulevard tidak memakan waktu lama dari tempat kami bermukim sementara. Sekitar 500m sepasang kaki berjalan menyapu pagi.
Penandangan pertama, kami dihadapkan pada tenant yang menjajakan gorengan. Melihat gorengan, saya teringat beberapa tahun silam. Gorengan merupakan jajanan favorit teman-teman semasa di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) 2017 silam.
Selain gorengan, ada juga nasi kuning, nasi uduk, juga roti bakar dengan lumuran “susu” kental manis. Jauh dari 2025, tetapi 2 tahun lebih dekat dengan fenomena kopi dalgona yang diaduk berirama mulai mencuat ramaikan laman sosial media. Namun, sekarang dalgona telah redup. Gorengan masih jadi nomor satu. Tapi apakah real food akan anggun melambung maju?
Masih kurang kenyang? Telur rebus lonjong sempurna bertengger di samping kompor. Aroma rempah bubur manado yang beradu dengan ikan asin meruah penuhi indra penciuman. Dengan sigap tak sampai 5 menit lapak dipenuhi rombongan perempuan berumur. “Aji, aji, mariki’ singgahki’ ada bubur Manado, kukusan, kukusan, kukusan,” seru Ibu Aji Ariani, yang umurnya enggan disebut.
Setelah enam menit mengobrol, saya dan seorang teman, Fitri, mulai memperhatikan pola berulang caranya menyeru pada calon pengempu kukusan. Terdengar sederhana, Aji; sebutan bagi orang yang telah menunaikan ibadah haji. Namun Aji Ariani membagikan namanya untuk menarik pembeli. Tampaknya, ibu-ibu lumayan tersanjung dipanggil Aji atau mungkin sapaan turun temurun yang mulanya berakar dari prestise sosial. Untuk mencapai spiritual tersebut, harganya lumayan merogoh kocek.
Anak Aji Ariani tengah merantau ke Ternate sementara dirinya berjibaku bersama alat tajam mengerat buah hingga akhirnya dijajarkan pula di meja setinggi pinggang rata-rata tinggi perempuan di Indonesia. Sebagian menundukkan leher menyipitkan mata menyeleksi hasil bumi apa yang sekiranya diperbolehkan mengamankan gelojoh — suka makan banyak — perut.
Katanya, mengukus pangan hasil berburunya di pasar tidak sesusah mengadon tepung terigu hingga akhirnya menjadi kawanan bala-bala. Pagi hari cukup ramah padanya, lapak sejuk dengan hangatnya hasil bumi menemani tangannya yang terampil melayani pembeli. Menanggapi kami, dan mengorganisasi besar api.

