Irwan tak sendirian berjuang. Di rumah, istrinya bekerja, dan tiga anaknya masih bersekolah mulai dari yang tertua duduk di kelas tiga SMK, yang kedua di SMP, dan si bungsu baru kelas tiga SD. “Alhamdulillah, dari odong-odong ini, bisa hidupi anak-anak, bisa sekolahkan mereka,” katanya.
Baginya, mesin sederhana itu bukan sekadar alat kerja, tapi jembatan hidup.
Setelah CFD usai sekitar pukul sepuluh pagi, Irwan pulang sebentar untuk beristirahat. Siang menjelang sore, ia kembali keluar, berkeliling kompleks atau perumahan di daerah Maros, Tanralili, bahkan sampai Moncongloe.
“Kadang saya keliling lagi jam dua atau jam tiga. Tergantung rezeki hari itu,” katanya.
Ia tak pernah tahu pasti berapa hasil yang dibawa pulang. Semua bergantung pada cuaca, jumlah pengunjung, dan nasib.
Di CFD Boulevard sendiri, Irwan tidak dikenakan biaya sewa tempat.
“Kalau yang di jalan besar, baru ada izin,” jelasnya. Tapi ia tetap menyisihkan sedikit rezeki untuk para petugas kebersihan. “Istilahnya bagi-bagi rezeki,” katanya. Ia paham, di balik keramaian, ada banyak orang kecil seperti dirinya yang juga berjuang mencari nafkah dari ruang yang sama.
Bantuan dari pemerintah? Ia menggeleng.
“Sering diambil datanya, KTP, kartu keluarga,” ucapnya.
“Tapi sampai sekarang belum pernah ada yang datang,” suaranya terdengar datar, tapi bukan tanpa nada kecewa.
“Kadang pilih kasih, saya ini cacat, tapi tak pernah dapat bantuan, padahal wajar kalau dibantu, kan?” Meskipun begitu, Irwan tak larut dalam keluh. Ia memilih sibuk menjaga keseimbangan antara bekerja dan istirahat. “Kalau malam pulang jam sepuluh, ya istirahat. Besok subuh jalan lagi. Semua demi anak-anak,” ujarnya.
Dalam hidupnya yang kini banyak dihabiskan di atas roda, waktu menjadi hal yang relatif. Siang dan malam bercampur, tapi semangatnya tak pernah padam.
Di sela tawa anak-anak yang berputar di atas odong-odong, Irwan tampak ikut tersenyum. “Enaknya main sama anak-anak, rasanya kayak muda lagi,” katanya sambil tertawa kecil.
Ia tak peduli jika usia terus bertambah, selama musik anak-anak terus berbunyi, hidupnya terasa ringan. “Banyak yang tidak percaya kalau saya sudah lima puluhan,” tambahnya tertawa.
Senyum Irwan tak pernah lepas saat melihat anak-anak menaiki odong-odong
Bagi Irwan, kebahagiaan sederhana saja. “Bahagia itu kumpul sama keluarga,” ujarnya tanpa ragu. Di matanya, keluarga adalah tujuan akhir dari setiap putaran roda. Dan di tengah teriknya matahari Makassar, dengan keringat di pelipis dan kaki yang sesekali kaku, ia terus mendorong odong-odongnya perlahan seperti menolak berhenti.
Sebelum berpamitan, ia sempat menyampaikan satu pesan untuk pemerintah kota: “Tolonglah, diperhatikan orang yang di bawah. Jangan pilih-pilih, banyak yang lebih susah tapi malah tak kelihatan. Kami cuma mau hidup layak, tanpa harus kehilangan pekerjaan.”
Di Car Free Day Boulevard, roda-roda warna milik Irwan terus berputar. Lagu anak-anak terus bergema, menutupi derit logam tua dan napas lelah pemiliknya. Tapi di balik itu semua, ada kisah keteguhan seorang ayah yang menolak berhenti, meski jalannya sudah tak lagi sempurna. (*).

