Suci Aulia Tenri Ajeng
Sastra Indonesia FIB/Magang ‘identitas’
Dari kejauhan, dentuman lagu anak-anak menggema di udara pagi Car Free Day (CFD) Boulevard Makassar. Di tengah kerumunan pejalan kaki, sepeda, dan penjual makanan, tampak sebuah odong-odong warna-warni berputar pelan. Di balik setirnya berdiri seorang pria paruh baya. Kakinya terlihat sedikit kaku. Tangannya sigap memutar kemudi, sementara matanya awas mengawasi anak-anak yang tertawa di kursi bergambar tokoh kartun. Dialah Irwan Dg Tiro, 51 tahun, penjaga roda kebahagiaan kecil di antara laju kota.
Irwan Dg. Tiro berdiri di samping odong-odong miliknya
Pagi itu, matahari baru naik di atas deretan ruko Boulevard. Udara masih sejuk, tapi kerumunan sudah ramai. Saat Suci Aulia, mahasiswa magang Penerbitan Kampus identitas Universitas Hasanuddin, menghampirinya, Irwan tampak berdiri di sisi rel. Memperhatikan anak-anak yang sedang menaiki odong-odongnya.
Setiap Minggu, Irwan berangkat sebelum subuh dari rumahnya di salah satu sudut jalan Makassar.
“Kalau di CFD itu, saya datang pukul lima pagi, paling lambat,” ujarnya.
Jalan masih sepi ketika ia membawa odong-odongnya ke area Boulevard. Di tempat itulah, selama enam tahun terakhir, ia mencari nafkah dari tawa anak-anak.
“Awalnya karena saya kecelakaan,” katanya.
“Kerja lain agak berat buat saya, jadi saya pilih ini. Kebetulan bosnya juga dekat rumah.” Kecelakaan motor beberapa tahun lalu membuat salah satu kakinya tak lagi sempurna. Tapi, bukan berarti semangatnya ikut pincang. Dengan modal keberanian dan ketekunan, Irwan belajar membawa odong-odong, merawat rel, dan menghadapi pelanggan kecil yang tak pernah sama perangainya. “Ada anak yang pendiam, ada juga yang agresif, sampai goyang-goyang terus. Itu yang harus dijaga, jangan sampai jatuh,” ujarnya sambil tersenyum tipis.
Anak-anak menikmati permainan odong-odong
Pagi di CFD selalu penuh cerita, kadang lucu, kadang melelahkan. “Kalau anak kecilnya banyak goyang, rel bisa lepas,” katanya sambil menepuk besi odong-odong yang tampak sudah sering dilas ulang. “Biasa relnya rusak, tapi perbaikan tidak mahal paling dua puluh ribu sampai lima puluh ribu. Di bengkel bos saja,” tambahnya.
Irwan tak sendirian berjuang. Di rumah, istrinya bekerja, dan tiga anaknya masih bersekolah mulai dari yang tertua duduk di kelas tiga SMK, yang kedua di SMP, dan si bungsu baru kelas tiga SD. “Alhamdulillah, dari odong-odong ini, bisa hidupi anak-anak, bisa sekolahkan mereka,” katanya.
Baginya, mesin sederhana itu bukan sekadar alat kerja, tapi jembatan hidup.
Setelah CFD usai sekitar pukul sepuluh pagi, Irwan pulang sebentar untuk beristirahat. Siang menjelang sore, ia kembali keluar, berkeliling kompleks atau perumahan di daerah Maros, Tanralili, bahkan sampai Moncongloe.
“Kadang saya keliling lagi jam dua atau jam tiga. Tergantung rezeki hari itu,” katanya.
Ia tak pernah tahu pasti berapa hasil yang dibawa pulang. Semua bergantung pada cuaca, jumlah pengunjung, dan nasib.
Di CFD Boulevard sendiri, Irwan tidak dikenakan biaya sewa tempat.
“Kalau yang di jalan besar, baru ada izin,” jelasnya. Tapi ia tetap menyisihkan sedikit rezeki untuk para petugas kebersihan. “Istilahnya bagi-bagi rezeki,” katanya. Ia paham, di balik keramaian, ada banyak orang kecil seperti dirinya yang juga berjuang mencari nafkah dari ruang yang sama.
Bantuan dari pemerintah? Ia menggeleng.
“Sering diambil datanya, KTP, kartu keluarga,” ucapnya.
“Tapi sampai sekarang belum pernah ada yang datang,” suaranya terdengar datar, tapi bukan tanpa nada kecewa.
“Kadang pilih kasih, saya ini cacat, tapi tak pernah dapat bantuan, padahal wajar kalau dibantu, kan?” Meskipun begitu, Irwan tak larut dalam keluh. Ia memilih sibuk menjaga keseimbangan antara bekerja dan istirahat. “Kalau malam pulang jam sepuluh, ya istirahat. Besok subuh jalan lagi. Semua demi anak-anak,” ujarnya.
Dalam hidupnya yang kini banyak dihabiskan di atas roda, waktu menjadi hal yang relatif. Siang dan malam bercampur, tapi semangatnya tak pernah padam.
Di sela tawa anak-anak yang berputar di atas odong-odong, Irwan tampak ikut tersenyum. “Enaknya main sama anak-anak, rasanya kayak muda lagi,” katanya sambil tertawa kecil.
Ia tak peduli jika usia terus bertambah, selama musik anak-anak terus berbunyi, hidupnya terasa ringan. “Banyak yang tidak percaya kalau saya sudah lima puluhan,” tambahnya tertawa.
Senyum Irwan tak pernah lepas saat melihat anak-anak menaiki odong-odong
Bagi Irwan, kebahagiaan sederhana saja. “Bahagia itu kumpul sama keluarga,” ujarnya tanpa ragu. Di matanya, keluarga adalah tujuan akhir dari setiap putaran roda. Dan di tengah teriknya matahari Makassar, dengan keringat di pelipis dan kaki yang sesekali kaku, ia terus mendorong odong-odongnya perlahan seperti menolak berhenti.
Sebelum berpamitan, ia sempat menyampaikan satu pesan untuk pemerintah kota: “Tolonglah, diperhatikan orang yang di bawah. Jangan pilih-pilih, banyak yang lebih susah tapi malah tak kelihatan. Kami cuma mau hidup layak, tanpa harus kehilangan pekerjaan.”
Di Car Free Day Boulevard, roda-roda warna milik Irwan terus berputar. Lagu anak-anak terus bergema, menutupi derit logam tua dan napas lelah pemiliknya. Tapi di balik itu semua, ada kisah keteguhan seorang ayah yang menolak berhenti, meski jalannya sudah tak lagi sempurna. (*).

